Elemen dari suatu negara salah satunya memiliki penduduk sebagai dasar dalam negara tersebut. Tanpa ada penduduk tentunya siapa yang akan menjadi penggerak dari suatu negara yang tentu saja memiliki unit-unit institusi yang beraneka ragam. Institusi yang beraneka ragam dan terspesialisasi sedemikian rupa membentuki peran dan fungsi masing-masing. Penduduk Indonesia mencerminkan heterogenitas yang mencakup wilayah yang luas sekali, mulai dari ujung barat di kota Sabang sampai di ujung timur tepatnya Kota Merauke, tidak ketinggalan Pulau Rote sebagai bagian dari Indonesia yang terletak paling selatan dan berbatasan langsung dengan Samudra Hindia.
Indonesia terbentang luas di ikuti kondisi geografis alam berbentuk gugus kepulauan yang dihubungkan oleh banyak laut dan selat. Gugus kepulauan di Indonesia memiliki karakterikstik berbeda antara satu dengan lainnya. Karakteristik yang berbeda dikarenakan isolasi geografis yang terjadi antar pulau itu sendiri. Isolasi geografis seperti terpisahnya pulau dengan laut, bentang alam yang umumnya didominasi oleh gunung menyebabkan kehidupan orang-orang disetiap pulau yang ada di Indonesia berbeda. Perbedaan masyarakat di Indonesia sebagai respon ekologis sejalan dengan apa yang dilontarkan oleh Marvin Harris, seorang Antropolog yang berasumsi bahwa kondisi lingkungan mempunyai faktor dan pengaruh yang besar dalam menentukan kehidupan manusia. Manusia tergantung dari alam, segala kebutuhan hidup tergantung dari alam, seperti menanan padi, kursi, bumbu masak,obat, dan sebagainya. Pertanyaan selanjutnya, apakah manusia bisa mempengaruhi alam, jawabnya ialah bisa.
Dalam aliran possibilisme dalam ilmu geografi, manusia memang menentukan alam sekitar, namun asumsi dari possibilisme kurang bisa melengkapi analisa antropologi. Ketidak mampuan dikarenakan tidak ada keseimbangan perhatian antara manusia dengan lingkungan. Perspektif Harris lebih mirip aliran fisik determinisme yang juga mencul dalam ilmu geografi, berseberangan dengan possibilisme.
Perspektif Harris dilakukan sebagai upaya selaras dengan alam. Salah satu pendekatan antropologi bahwa grasp to the native point yang artinya memahami perilaku objek atau narasumber, dan tidak mencampurnya dengan peran peneliti. Konsekuensi dari Harris yang cenderung dekat pada aliran fisik determinisme, menyebabkan asumsi tersebut berupaya banyak menggali respon dari orang-orang tertentu, terkait perubahan lingkungan yang dialami. Respon lingkungan dalam ranah budaya salah satunya agama. Agama merupakan unsur penting dalam kebudayaan itu sendiri yang terbagi menjadi tujuh, antara lain, bahasa, kesenian, mata pencaharian, sistem kekerabatan, sistem teknologi, sistem pengetahuan, dan sistem kepercayaan atau agama (Koentjaraningrat, 1996).
Kemunculan agama sebagai suatu kepercayaan dalam suatu masyarakat membawa hubungan transedental berikut juga hubungan sosial masyarakat. Hubungan transedental atau hubungan kepada sang pencipta dilakukan orang Indonesia dengan beragam cara, wujud, dan bentuk namun memakai satu konsep yang sama, yakni melakukan komunikasi dengan sang pencipta. Budaya Indonesia berbeda satu sama lain, selain karena faktor geografis atau kewilayahan, juga karena faktor sejarah yang tidak sama. Contoh geografis ialah tentang bentuk-bentuk upacara masyarakat di selatan Pulau Jawa , mulai dari ujung barat sampai timur, terkait masalah keberadaan penguasa laut selatan. Di Yogyakarta ada kegiatan melarung sesaji, di pelabuhan ratu konsep transedental dibangun dengan jalan penyediaan kamar khusus bagi penguasa laut selatan, dan sebagainya.
Untuk contoh historis yang sederhana ialah antara orang sunda yang berasal dari Jawa Barat, dengan agama lokal mereka disebut sunda wiwitan, orang jawa dengan kejawen yang ada di wilayah Jawa Tengah, Yogyakarta, dan sebagian Jawa Timur punya agama tersendiri yang disebut kejawen. Orang sunda wiwitan lazim mengucapkan salam ”sampurasun”, kemudian dibalas dengan ungkapan ”rampes”. Salam sebagai bentuk tindakan menyapa dan menghargai lawan bicara. Keberadaan sunda wiwitan tidak terlepas dari sejarah masa lalu daerah Jawa Barat yang menjadi kekuasaan Kerajaan Padjajaran. Orang-orang padjajaran yang enggan menerima pengaruh islam, kemudian menyingkir ke daerah Banten Selatan atau sekarang dikenal dengan nama orang badui. Orang badui khususnya badui dalam, melihat perlunya adanya kesederhanaan dalam hidup atau zuhud. Ajaran ini menjadi begitu penting dalam menyikapi perubahan-perubahan yang terjadi masa kini. Menjadi sangat penting ketika wilayah badui yang semula hanya ada satu, kini telah menjadi dua bagian secara adat yakni badui dalam dan badui luar. Badui luar adalah orang badui yang perlahan mulai meninggalkan kebiasaan lama yang kolot dan anti-perubahan. Keberadaan badui luar ini yang menyebabkan manusia melakukan proses dinamikanya sendiri yang sangat bergantung pada lingkungan sekitar. Kejawen adalah kepercayaan jawa yang banyak dipeluk oleh orang jawa sebagai bentuk afiliasi dengan islam.
Kejawen dengan lazim dengan istilah manunggaling kawulo gusti (Rokib, 2007). Falsafah hidup manunggaling kawulo gusti dipopulerkan oleh Syech Siti Jenar yang sebenarnya mengandung makna mistis sekaligus bentuk thoriqot tersendiri dan berlaku khusus di orang jawa. Model thoriqot naqsabandiyah, thoriqot qodiriyah, atau thoriqot qodiriyah wan naqsabandiyah adalah model-model yang diserap dari kebudayaan yang berbeda. Thoriqot teresebut umumnya berasal dari orang arab yang secara geografis maupun kultural berbeda. Perbedaan itu ialah, thoriqot di arab yang umumnya muncul di kawasan iraq ketika Dinasti Abbasiyah berkuasa, terlahir dengan kondisi masyarakat yang sudah mapan, teknologi maju, dan ilmu pengetahuan berkembang pesat. Kondisi masyarakat yang mapan mendorong seseorang untuk mencari sandaran hidup setelah kebutuhan duniawi dan kesejahteraan terpenuhi sehingga lahirlah thoriqot. Kejawen melakukan ritus peribadatan tidak seperti islam, tetapi melakukan wirid tertentu yang esensi dari wirid itu ialah hubungan dengan Yang Maha Kuasa di ikuti oleh pendekatan batin agar memperoleh ketentraman hati.
Dalam surat Al Hujuraat ayat 13, Allah juga berfirman bahwa manusia itu diciptakan dengan berbagai suku bangsa, dan itu terjadi agar setiap manusia saling mengenal. Esensi QS. Al Hujuraat 13, secara tidak langsung menjadi jembatan yang disadari atau tidak terhadap keberadaan ilmu sosial khususnya Antropologi itu sendiri. Mengenal manusia yang berbeda berarti belajar banyak dari setiap perbedaan yang ada dan dimunculkan oleh manusia, tidak terkecuali agama. Ritus-ritus agama di Indonesia, mulai agama lokal seperti kejawen, sunda wiwitan, kaharingan (orang dayak), marapu (orang sumba) adalah bentuk budaya yang pada dasarnya mengajak pada esensi hubungan transedental terhadap sesama, walaupun bentuk dan tata cara ibadahnya berbeda. Toh agama lokal tersebut juga tidak melakukan kekerasan dan tidak melakukan ancaman terhadap kehidupan bermasyarakat, lain halnya jika kita berbicara pada agama luar seperti islam, kristen, hindu, buddha, konghuchu. Agama luar tersebut memang secara historis dibawa oleh pendatang, bukan bangsa Indonesia.
Keberadaan agama tersebut juga menggeser kebudayaan agama lokal. Pergeseran tersebut memang tidak menjadi masalah, yang menjadi masalah ialah membawa konflik dan permusuhan atas nama agama. Allah saja maha pengasih dan maha penyayang sesuai dalam asmaul husna atau rohman ar rohim), mengapa umatnya justru beringas dan sukar dikendalikan?. Diperlukan sikap tawassuth dan i’tidal sebagai bagian dalam kehidupan bermasyarakat yang intinya adil dan tidaklah ekstrim. Refleksi dalam kehidupan masyarakat dengan berbagai perbedaan ada dalam sosok Syech Kholil Bangkalan, beliau merupakan guru bagi KH. Hasyim Asy’arie, KH. As’ad Syamsul Arifin, KH. Asy’arie Bondowoso, KH. Munawwir Krapyak, Yogyakarta, KH. Abdul Fattah, Tulungagung, dan sebagainya (Assayuthi, 2010, http://www.azmatkhanalhusaini.com).Syech Kholil diminta restu oleh orang cina yang ingin kaya, dan agar beliau berkenan mendoakannya. Kyai kholil mendoakan tanpa ragu dan tanpa melihat kepercayaan orang tersebut, apalagi ras yang bersangkutan (Assayuthi, 2010). Semoga contoh beliau tersebut membawa manfaat besar bagi kita semuanya, amin.
Sumber pustaka:
Roqib, Moh. 2007. Harmoni Dalam Budaya Jawa ”Dimensi Edukasi dan Keadilan Gender”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Koentjaraningrat. 1996. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta:Rineka Cipta.
Harris, Marvin. 1981. Culture, People,Nature. New York: Harper and Row.
Assayuthi, Ibnu. 2010. Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan & NU ” Mengenang & Menghayati Perjuangan Sang Inspirator. Cirebon: Al Haula Press.
Posting Komentar