Islam sebagaimana yang telah kita kenal merupakan agama rahmatan lil alamin yang diturunkan sebagai pembawa berkah bagi dunia ini serta pengayom bagi penghuni alam dunia seluruhnya. Yang jelas, sejak awal kehadirannya Islam membawa misi pembebasan manusia dari belenggu penindasan dan eksploitasi di antara sesama manusia. Melalui ajarannya yang bersifat universal Islam memberikan kekuatan pencerahan dan pembebasan manusia dari ketidakadilan, ketertindasan, dan penistaan-penistaan lainnya.
Dalam fenomena kehidupan sehari-hari kita tak dapat memungkiri bahwa kita tidak bisa terlepas dari fenomena kaya-miskin, pintar-bodoh, kuat-lemah, ketertindasan dan sebagainya. Fenomena-fenomena tersebut merupakan penyeimbang dan pelengkap corak kehidupan yang justru dari sanalah akan muncul suatu seni dalam setiap problem kehidupan. Namun, sangat disayangkan bahwa fenomena keberbedaan tersebut ternyata seringkali justru menimbulkan kezaliman dan penindasan kaum yang di atas (elit, kaya, dan sebagainya) terhadap kaum yang berada di bawahnya (miskin, bodoh, dan sebagainya). Lalu, bagaimana Islam sebagai agama rahmatan lil alamin memposisikan dirinya dalam kondisi seperti itu? Dan bagaimanakah Islam memandang kaum lemah tersebut?
Siapakah sebenarnya yang dimaksud dengan kaum lemah menurut Islam? Tampaknya pertanyaan tersebut harus dijawab terlebih dahulu sebelum kita sampai pada pembahasan tentang pandangan Islam terhadap kaum lemah di atas dan agar lebih memudahkan kita dalam mendefinisikan kaum lemah itu sendiri. Islam menyebut orang-orang lemah sebagai kaum mustadh’afin, yang artinya orang yang lemah atau dilemahkan. Adapun secara tekstual dalam salah satu ayat Al-Qur’an disebutkan bahwa makna mustadh’afin dikaitkan dengan mereka yang tidak bisa berperang dikarenakan sakit atau umurnya terlalu tua (usia udzur). Sedangkan dalam kaitannya dengan istilah mustadh’afin yang tertera dalam al-Qura’an, beberapa ahli tafsir mencoba memberikan penjelasan bahwa mereka adalah orang-orang yang lemah atau dilemahkan dalam konteks ekonomi, kemerdekaan, dan juga fisik.
Seperti yang telah disebutkan pada paragraf awal tulisan ini bahwa ajaran Islam bersifat universal, dalam arti bahwa ia mengatur setiap sisi kehidupan umat, sehingga tidak mudah bagi penulis untuk mendeskripsikan secara detail peran Islam terhadap nasib kaum lemah yang tertindas. Oleh karena itu, penulis memilih untuk membatasi tulisan ini dan memfokuskan pada bahasan tentang bagaimana dan seberapa besar peran Islam terhadap pembelaan kaum lemah dan tertindas dalam konteks ekonomi.
Mustadh’afin dalam konteks ekonomi
Berkaitan dengan makna mustadh’afin dalam konteks ekonomi, Al-Qur’an menggunakan istilah-istilah berikut: fuqara’ (orang-orang fakir), masakin (orang-orang  miskin), sailinal-mahrum (orang yang tidak mau meminta-minta walaupun dia papa, karena hendak menjaga kehormatan dan harga dirinya). Dalam memahami makna al-mahrum ini kita dapat mencermati ayat Al-Qur’an yang berbunyi: “Wa fii amwaalikum haqqun  li saaili wa al-mahruum”, yang artinya: “Dan di dalam harta-harta kalian, terdapat hak bagi orang yang memintanya dan juga bagi yang tidak meminta karena menjaga kehormatannya”.
Islam sebagai agama rahmatan lil alamin tentu bukan sekedar agama konseptual yang hanya bisa mengemukakan dalil-dalil tanpa ada aktualisasi dari dalil-dalil tersebut. Lalu yang menjadi pertanyaan sekarang ini adalah: mengapa masih begitu banyak orang-orang miskin yang tinggal di rumah-rumah kumuh, kolong jembatan, dan bahkan tragisnya ada yang tak punya tempat bernaung sama sekali? Dan lebih menyedihkan lagi ketika kita memandang ke pinggir-pinggir jalan kita akan ‘disuguhi’ kenyataan bahwa masih ada begitu banyak orang mengulurkan tangan mengharapkan belas kasihan dari para pengguna jalan. Lalu, di mana posisi dan peran Islam saat itu? Kenapa kemiskinan semakin banyak layaknya jamur yang tumbuh di musim hujan?
Kemiskinan memang masalah yang cukup kritis dalam suatu konteks ekonomi. Dan seperti yang telah disebutkan di atas, salah satu konteks yang terkait dengan orang lemah atau dilemahkan adalah konteks ekonomi. Diakui atau tidak, hegemoni ekonomi hampir selalu menjadi permasalahan yang serius dan sulit terpecahkan, bahkan hingga beberapa tahun terakhir. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa hasrat terhadap kekuatan ekonomi telah menjadi tujuan sebagian besar atau malah seluruh negara di dunia ini. Kenapa? Karena tolak ukur dari suatu negara untuk bisa disebut sebagai negara yang kuat secara kasat mata adalah kondisi perekonomian negara tersebut.
Berbagai sistem ekonomi yang dimunculkan dan dianut oleh negara-negara di dunia merupakan suatu bukti betapa sibuknya umat manusia dalam berkompetisi di bidang ekonomi. Kapitalisme yang mengusung konsep pelipatgandaan modal saat ini tengah menghadapi tantangan dari negara-negara yang berambisi untuk menjadi negara yang maju dalam perekonomian. Sehingga, mereka lupa bahwa betapa akan cepat rusaknya dunia dengan sistem ekonomi yang mereka anut.
Ketimpangan dan ketertindasan secara ekonomi serta kemiskinan yang menjadi tanggung jawab utama kemanusiaan (sebab berkaitan dengan pewujudan keadilan dan kesejahteraan sosial secara merata) dapat dihindarkan seandainya nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam dilaksanakan secara konsekuen. Karena sesungguhnya Islam telah memiliki nilai-nilai moral dan etis di bidang ekonomi yang menjelaskan bagaimana seharusnya sebuah sistem ekonomi dibentuk dan dikembangkan.
Namun kapitalisme telah meracuni otak para pelaku ekonomi sehingga justru kemiskinanlah yang menjadi buah dari sistem tersebut. Pandangan ekonomi kapitalisme beranganggapan bahwa problem ekonomi disebabkan oleh kelangkaan barang dan jasa sementara kebutuhan dan populasi semakin bertambah sehingga sebagian orang terpaksa tidak mendapat bagian dan terjadilah kemiskinan. Padahal menurut Islam distribusi yang kurang baiklah yang menjadi penyebab dari kemiskinan tersebut. Karena dalam Al-Qur’an Allah telah berfirman: “Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberikan rizki” (Q.S. Ar-Rum: 40).
Sekarang, kita sedang berada dalam situasi ketimpangan dan kemiskinan yang tak lagi dapat diselesaikan dan diatasi melalui sistem ekonomi kapitalis. Oleh karena itu, sudah seharusnya bagi kita semua untuk melawan dan mengusir sistem kapitalis yang kini semakin menggila dengan wajah barunya, neo-liberalisme dan menggantinya dengan sistem yang lebih berkeadilan, yaitu sistem ekonomi yang dilandasi dan didasari oleh nilai-nilai ajaran Islam. Di sinilah letak sumbangsih nyata Islam dalam ekonomi guna meredam penindasan terhadap kaum yang tertindas secara ekonomi.
Wallahu a’lam bi ash-showab.
Oleh: Anita Wijaya

Posting Komentar

 
Top