Sastra Sebagai Instrumen Hegemonik
menulis-sastra
(sumber gambar: http://3.bp.blogspot.com/)
Banyak orang tanpa sadar terpengaruh oleh doktrinasi yang disisipkan dalam karya sastra. Maka di situlah terjadi unsur strategis dalam perebutan arus ideologi besar.
Sebagian besar orang lebih suka membaca karya novel, cerpen, puisi, pantun, roman dan karya-karya sastra lainya daripada buku-buku formal (ilmiah). Kita bisa melihat banyak anak sekolah dari semua tingkatan, Sekolah Dasar hingga perguruan tinggi lebih suka membaca hal-hal yang berbau sastra daripada buku-buku pelajaran atau buku kuliah yang menurut sebagian mereka menjenuhkan. Meskipun secara kenyataanya saat ini, anak-anak lebih suka bermain game, media sosial dan alat elektronik ciptaan modernisasi ini daripada bermain dengan buku. Namun demikian, kita tidak boleh menghakimi bahwa setiap orang terpengaruh dengan permainan modernisasi, di sisi lain—pastilah  masih banyak orang yang suka dengan buku. Dan sebagian besar orang yang membaca buku ini, buku karya sastra adalah buku paling sering dibaca dengan alasan mudah dipahami dan tak menghabiskan waktu yang cukup lama.
Orang-orang pada zaman dahulu (sejak manusia mengenal aksara) juga telah melakukan hal yang sama, yakni mereka sangat menyukai hal-hal yang berbau sastra. Hal ini bisa dilihat pada kesusasteraan Jawa di masa Hindu-Budha, hingga masa Islam masuk ke Jawa. Sebagian besar orang-orang Jawa senang dengan cerita-cerita legenda, mitos, dan fable yang pada zaman itu dipertunjukkan dalam upacara-upacara adat. Mereka lebih senang mendengarkan cerita-cerita yang dibacakan oleh para pemuka agama, tokoh masyarakat dan para orang-orang tua. Anak-anak kecil juga diberi pengantar tidur dengan cerita-cerita yang berkembang pada masa itu. Pada masa itu pula budaya membaca puisi macapat di setiap acara sering dilakukan.  Dari sanalah karya sastra mulai disukai dan digandrungi oleh semua kalangan masyarakat.
Karya sastra dapat disenangi oleh semua kalangan pastilah mempunyai beberapa hal yang istimewa. Dalam teori sastra secara universal dijelaskan bahwa karya sastra harus mengandung unsur keindahan dan imajinasi. Keindahan dalam karya sastra tercermin pada bagaimana seorang pengarang dapat menyampaikan suatu ide dapat diterima dengan mudah oleh pembaca. Terlihat perbedaan yang jelas antara tulisan yang “kaku” dengan tulisan yang luwes. Di sinilah letak gaya bahasa, yaitu bisa membuat suatu tulisan yang kaku menjadi tulisan yang luwes dan dengan mudah dipahami oleh penikmat karya sastra. Demikian juga unsur imajinatif dalam suatu karya sastra perlu diperhatikan. Karya sastra yang bisa membangkitkan imajinasi pembaca paling tinggi itulah yang dinilai sebagai karya sastra paling hebat. Unsur keindahan dan imajinasi ini menjadi bagian yang terpisahkan dalam suatu karya sastra.
Dalam menulis karya sastra, setiap pengarang menyampaikan ide yang diyakininya dan dianggap benar. Ide yang disampaikan, oleh pengarang dihiasi dengan gaya bahasa dan kata-kata yang begitu indah, sehingga pembaca bisa tetap tertarik dengan karya sastra itu.  Pengarang berhak membuat ide atau nilai (value) sesuai dikehendakinya. Di sinilah terdapat unsur dokstrinasi terhadap setiap karya sastra yang dibuat oleh pengarang. Pengarang dengan hak yang leluasa penuh terhadap karya sastra bisa memberikan ideologi dan doktrinasi, sehingga inilah salah satu bentuk hegemoni secara tidak sadar kepada setiap penikmat karya sastra. Hal demikian bisa diketemukan pada karya-karya sastra masa lalu, misalkan Kakawin Arjunawiwaha digunakan oleh pujangga—yang berkedudukan sebagai penasehat kerajaan— Jawa masa lalu untuk  melegitimasi kedudukan raja dan kerajaan di Jawa agar tetap baik di mata para rakyatnya. Kasus ini adalah salah satu bentuk doktrinasi secara mendasar kepada para rakyat masa lalu.
Unsur kepentingan dan keberpihakan akan tetap terjadi dalam semua hal, begitu juga doktrinasi dalam karya sastra. Sebagian orang juga ada yang menganggap bahwa karya sastra murni untuk kepentingan hiburan, ini bisa jadi benar. Namun kepentingan hiburan itupun terdapat unsur-unsur penyampaian ideologi yang bisa jadi hanya sebatas ide percintaan, persabatan dan lain sebagainya, dan ide seperti ini juga bisa disebut sebagai bentuk doktrinasi. Dengan demikian, karya sastra dengan sebegitu banyak peminatnya dibanding dengan buku-buku lainya merupakan salah satu cara strategis dalam menyampaikan ide-ide besar dan kemudian menjadi bentuk doktrinasi. Hal inilah yang menjadi “PR”  bagi kalangan mahasiswa pergerakan yang menggembor-gemborkan Islam Indonesia, Pancasila, Keadilan dan kemakmuran setiap manusia dengan memanfaatkan media sastra sebagai salah satu jalan penyebaran gagasan yang strategis.  Untuk kesuksesan penyebaran ide besar itu haruslah dirancang dengan rapi dan terarah.
(Mohammad Sahlan, Sastra Nusantara UGM)

Posting Komentar

 
Top