Memulai tahun ajaran baru, seperti biasa lulusan-lulusan SMA/SMK yang ingin melanjutkan studinya mulai bergerilya mencari perguruan tinggi favoritnya. Dari tahun ke tahun, mereka semakin dipermudah dengan semakin gencarnya promosi yang dilakukan oleh perguran tinggi. Bahkan tanpa harus lulus dulu pun mereka bisa memastikan di mana dia akan melanjutkan studinya, karena perguruan tinggi mengadakan ujian masuk jauh hari sebelum masa kelulusan sekolah. Gencarnya promosi semacam ini tidak hanya dilakukan oleh perguruan tinggi swasta atau perguruan tinggi negeri, tetapi juga perguruan tinggi dari luar negeri.
Berbagai fasilitas ditawarkan kepada calon mahasiswa demi menunjukkan seberapa berkualitas sebuah perguruan tinggi dalam “mendidik” mahasiswanya. Mulai dari fasilitas internet gratis, ruang kuliah ber-AC, sampai dosen lulusan luar negeri. Hal ini kemudian menjadi justifikasi bahwa semakin berkualitas suatu perguruan tinggi, semakin mahal biaya pendidikannya, walau sebuah perguruan tinggi negeri sekalipun yang notabene di bawah tanggung jawab negara.
Institusi pendidikan nampaknya menggunakan logika bisnis dalam pengelolaannya. Mereka memposisikan diri sebagai penjual jasa pendidikan dengan kualitas atau mutu pendidikan sebagai jualannya dan mahasiswa sebagai konsumennya. Semakin tinggi kualitas pendidikannya, semakin mahal biaya pendidikannya. Begitu juga sebaliknya. Kualitas atau mutu pendidikan menjadi barang mewah, hanya mampu dijangkau oleh masyarakat kelas atas. Sedangkan masyarakat kelas menengah ke bawah hanya mampu bermimpi akan hal itu.
Sebagai penjual tentunya perguruan tinggi berpikir bagaimana bisa mendapatkan keuntungan dari apa yang dijual. Dalam hal ini pendidikan telah diposisikan menjadi komoditas, bagaimana kemudian pendidikan dapat digunakan untuk mendapatkan keuntungan. Semakin mahal biaya pendidikan, semakin banyak pula keuntungan yang didapatkan.
Hal ini tidak lepas dari peran negara dalam kebijakannya di bidang pendidikan. Dengan keluarnya PP tentang BHMN, hal itu mengharuskan perguruan tinggi mencari dana sendiri untuk penyelenggaran pendidikannya. Belum lagi RUU BHP, sekarang telah disahkan menjadi UU, yang menuai banyak kontroversi. Hal itu tidak lain adalah kelanjutan dari UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 53 yang menyatakan bahwa lembaga pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah dan masyarakat harus berbentuk Badan Hukum Pendidikan (BHP). Dengan dalih otonomisasi lembaga pendidikan di Indonesia, disinyalir usulan RUU BHP yang kini telah disahkan itu lebih mengarah pada upaya privatisasi atau liberalisasi (komodifikasi) pendidikan.
Asumsi tersebut bukannya tidak beralasan. Bukti bahwa UU BHP mengkomoditaskan pendidikan tercermin dari pasal 8 ayat 1 dan 2 yang memperbolehkan lembaga asing menyelenggarakan pendidikan di Indonesia dengan penyertaan modal maksimal 49%. Ayat 1 berbunyi: “Lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat mendirikan BHP baru di Indonesia bekerjasama dengan BHP Indonesia yang telah ada”. Sedangkan Ayat (2) menyatakan bahwa pendirian BHP baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selain memenuhi ketentuan dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 7, lembaga pendidikan asing memiliki hak suara paling banyak 49% (empat puluh sembilan persen) di dalam organ penentu kebijakan umum tertinggi BHP. Dari sini terlihat dengan jelas bahwa UU BHP menjadikan pendidikan sebagai komoditas yang diperdagangkan dan untuk mencari keuntungan.
Di tingkatan global, kebijakan pendidikan di Indonesia tak luput dari kebijakan WTO, di mana Indonesia sebagai salah satu anggotanya, tentang General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan pada 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, serta jasa-jasa lainnya termasuk pendidikan. Mau tidak mau, Indonesia akan membuka ruang bagi institusi pendidikan asing untuk menyelenggarakan pendidikan di dalam negeri dan bersaing dengan institusi pendidikan dalam negeri. Proses liberalisasi pendidikan di Indonesia tinggal menunggu waktu saja.
Tiga negara yang paling mendapatkan keuntungan besar dari liberalisasi jasa pendidikan adalah Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. Pada tahun 2000 ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai USD 14 miliar atau 126 triliun rupiah. Di Inggris sumbangan pendapatan dari ekspor jasa pendidikan mencapai 4 % dari penerimaan sektor jasa negara tersebut. Sebuah publikasi rahasia mengungkapkan bahwa pada tahun 1993 sektor jasa telah menyumbangkan 20% pada PDB Australia, menyerap 80 % tenaga kerja dan merupakan 20 % dari ekspor total negeri kanguru tersebut. Sebuah survei yang diadakan pada tahun 1993 menunjukkan bahwa industri jasa yang paling menonjol orientasi ekspornya adalah jasa komputasi, pendidikan, dan pelatihan. Ekspor jasa pendidikan dan pelatihan tersebut telah menghasilkan 1,2 miliar dolar Australia pada tahun 1993. Fakta tersebut dapat menjelaskan mengapa tiga negara maju tersebut amat getol menuntut liberalisasi sektor jasa pendidikan melalui WTO.
Melihat fakta di atas, sangat jelas terlihat bahwa pendidikan telah mejadi komoditas. Negara telah menyediakan “ruang jual beli” pendidikan. Pasar pendidikan nampaknya sebuah istilah yang menarik untuk menyebut area komoditas pendidikan itu. Di dalam pasar tersebut banyak “toko-toko” (institusi pendidikan) yang menjual barang dagangannya, baik produk lokal maupun luar negeri. Untuk memperlancar dagangannya, “toko-toko” tersebut  gencar melakukan promosi guna menjaring konsumen (anak didik) sebanyak-banyaknya sehingga dapat meraih keuntungan yang berlipat ganda. Semakin bagus kualitas barang dagangannya, semakin mahal pula harganya. Konsumen pun tidak kesulitan untuk mencari “toko” mana yang cocok untuk dirinya. Jika dia mampu, maka barang dengan kualitas bagus tidak menjadi masalah, bahkan barang impor sekalipun, walaupun mahal yang penting bergengsi dan berkualitas. Kalau tidak mampu, maka carilah yang sesuai dengan kemampuan finansial, walaupun dengan kualitas barang yang seadanya. Semuanya tersedia, dari barang yang kualitasnya jelek sampai yang kualitasnya bagus. Laku tidaknya sebuah toko, pasarlah yang menentukan.
Dari Pasar Ke Pasar
Awal ajaran baru bagi mahasiswa bersamaan dengan berakhirnya proses pendidikan bagi sebagian mahasiswa yang telah diwisuda. Sebuah kisah klasik dari wisudawan adalah, kira-kira pekerjaan apa yang nanti didapatkan. Bagi sebagian wisudawan hal itu masih menjadi persoalan karena jurusan yang diambil ketika kuliah ternyata tidak laku di pasaran, sehingga pengangguran pun bertambah. Ini yang kemudian menjadi pertanyaan, apakah perguruan tinggi gagal dalam mendidik mahasiswa? Atau, ini adalah skenario dari pasar sehingga pasar dapat menentukan apa yang harus dipelajari oleh mahasiswa di perguruan tinggi sehingga nantinya setelah lulus dapat laku di pasaran?
Sedikit mencermati, bahwa pasar sepertinya telah mempengaruhi pendidikan kita, bahkan ikut mewarnai proses pembelajarannya. Proses pendidikan ditentukan oleh pasar. Ketika pasar membutuhkan seorang pekerja keuangan, maka pendidikan menjawabnya dengan mendirikan atau membuka jurusan atau sekolah yang berbau perbankan. Ketika pasar membutuhkan seorang penyanyi, pendidikan pun menjawabnya dengan mendirikan sekolah menyanyi, dan lain sebagainya. Pendidikan dan pasar nampaknya mempunyai hubungan yang sangat erat. Pasar mampu berkuasa atas pendidikan sehingga apa yang dbutuhkan pasar harus segera dijawab oleh pendidikan.
Dari sinilah kemudian kita harus menyadari perlunya kita peduli akan masa depan pendidikan bangsa ini. Jeratan neoliberalisme seakan kuat mencengkeram dunia pendidikan. Apakah kita hanya akan mendiamkan diri dari ketertindasan dalam pendidikan? Bukankah pendidikan merupakan suatu upaya yang mutlak dalam suatu kehidupan manusia, karena merupakan faktor penting dan bermanfaat bagi kehidupan dan juga mutlak harus dipenuhi dalam upaya meningkatkan taraf hidup suatu bangsa agar tidak menjadi bangsa yang terbelakang dan tertinggal dengan bangsa lain? Atau menurut Paulo Freire, bukankah pendidikan adalah sarana untuk membebaskan manusia dari ketertindasan dan penindasan menuju pada kesadaran humanisasi? Atau merujuk pada ajaran Ki Hadjar Dewantara yang menyatakan bahwa bukankah pendidikan yang berguna untuk perikehidupan bersama ialah memerdekakan manusia sebagai anggota dari persatuan (rakyat)? Dalam pendidikan harus senantiasa diingat bahwa kemerdekaan itu bersifat tiga macam: berdiri sendiri (zelstanding), tidak bergantung pada orang lain (onafhankelijk), dan dapat mengatur dirinya sendiri (vrijheid, zelfbeschikking).[]
Oleh: Jay Ahmad (Filsafat 2003)
Dalam rubrik transformasi buletin dialektika edisi 4

Posting Komentar

 
Top