Oleh : Muhammad Fatah Mustaqim
Serangkaian acara mulai dari seminar, lokakarya, diskusi warung kopi, angkringan, hingga demonstrasi di jalanan menyambut hari sumpah pemuda telah di gelar di beberapa kota besar di Indonesia terutama di kampus kampus. Penulis juga mencatat dan mencerna beberapa kata kata popular dari bebrapa diskusi seperti “berbagi tautan energi”, “berpikir out of the box”, hingga bagaimana kita memaknai sumpah pemuda saat ini?
Tahun lalu dalam pengamatan penulis juga tidak jauh berbeda, kita di suguhi acara acara seminar dan demonstrasi simbolik. Bagi penulis, kegiatan tersebut memang penting, namun tidak lupa pula bahwa kegiatan tersebut baru bersifat prasyarat dari sekian banyak prasyarat lainnya di luar dunia akademis kampus, sebelum kita melangkah lebih jauh memberikan sumbangsih nyata bagi negeri ini.
Gerakan pemuda sebagai salah satu pionir perubahan sosial politik, hingga kini belum beranjak dari persoalan internal mereka sendiri. Gerakan pemuda saat ini justru larut dalam subordinasi (hegemoni halus), dari sistem besar yang mengurung idealisme pemuda seperti “burung perkutut” yang hanya indah dalam kicauannya.
Sebelum menelusuri sejauh mana gerakan pemuda terhegemoni secara halus (soft hegemony) oleh sistem besar saat ini, penulis ingin meluruskan makna idealisme, sebagai “tulang punggung” progresivitas gerakan pemuda
Makna idealisme dalam pandangan penulis perlu diterjemahkan ulang. Pengertian idealisme saat ini cenderung terperangkap dalam stereotipe penyempitan makna. Idealisme cenderung hanya di artikan sebagai aktivisme dengan watak ideologis yang terkesan “garang”, pandai berpolemik, dan seakan hanya bisa kita temui orang nya dalam ruang ruang seminar akademis belaka.
Idealisme dalam pandangan penulis, melampaui pengertian di atas. Dengan kata lain, idealisme tidak terbatas pada makna politik ideologis, ataupun intelektualitas akademis belaka, namun lebih pada rasa kepedulian setiap pemuda sesuai nalar nya masing masing terhadap persoalan bangsa ini. Siapa pun berhak menyandang idealisme, dengan satu syarat utama yaitu seberapa besar porsi atau ruang nilai nilai keindonesiaan termanifestasikan secara kualitatif dalam setiap karya karya anak muda di berbagai bidang, mulai dari karya musik, sastra, akademis, olahraga, teknologi, hingga karya karya lainnya. Nilai nilai keindonesiaan itu sendiri terejawantahkan dalam wujud nilai nilai kolektivisme, rasa kemanusiaan, dan spiritualisme (saripati intelektualitas dan integritas perilaku).
Memang saat ini, ruang keindonesiaan dalam setiap karya karya anak muda mulai berkembang. Namun baru menyentuh aspek permukaan yang dangkal, tanpa pemahaman dan internalisasi lebih mendalam mengenai visi keindonesiaan.
Meskipun ruang ruang keindonesiaan akhir akhir ini mengalami perkembangan, namun porsi nya masih terlampau kecil di bandingkan dengan ruang ruang materialism (space for Rent), individualisme (space for self romantisme), dan ruang intelektualisme yang tercerabut dari akar sejarah budaya bangsa (Space for liberalism and radikalism).
Hegemoni halus (soft hegemony) meresap dan berkelindan dalam wujud materialisme, individualisme, dan intelektualisme sempit. Wujud materialisme saat ini sudah menjadi nilai laten yang sudah masuk dalam cara berpikir sebagian pemuda. Konstruksi sosial dan Kurikulum pendidikan kita cenderung mengarahkan para pemuda menjadi “tukang tukang” tanpa bekal idealisme yang cukup.
Cara berpikir sebagian besar pemuda atau bahkan orang tua saat ini cenderung mengedepankan parameter nilai ijazah akademis sebagai syarat utama jaminan “hidup layak” setelah kelulusan. Saat ini, fenomena “tukangisasi” di bungkus dengan predikat kata “orang orang professional”,dan “orang orang dengan skill” dalam makna kemampuan teknis konseptual semata.
Kerangka berpikir yang cenderung bersifat kebendaan tersebut menimbulkan sikap Individualisme dalam diri pemuda. Sikap ini muncul akibat konstruksi sosial budaya terkait dengan tuntutan produktifitas materi individu (tukang). Konstruksi sosial tersebut mempengaruhi cara berpikir pemuda bahwa orang lain tidak lebih dari Kompetitor nya, sehingga semakin mengurangi hubungan kemanusiaan personal diantara mereka. Proporsi hubungan kemanusiaan yang semakin berkurang tentunya akan berakibat pada kegamangan dan kecurigaan sosial pemuda di masyarakat luas. Persaingan dilakukan untuk mengalahkan Kompetitor lainnya. Semangat persaingan lebih dijunjung daripada semangat gotong royong. Budaya organisasi yang solid pun sulit dibangun.
Selain perihal tersebut, wujud individualisme dapat kita lihat dengan jelas dari kegamangan sosial para pemuda terhadap lingkungan sekitarnya. Pemuda cenderung tanpa di sadari membangun sekat sekat sosial dengan lingkungannya. Sikap “canggung” dan nalar yang semakin berjarak sebagian pemuda, menimbulkan kesalahpahaman yang menjadikan hubungan sosial mereka sebagai beban yang sebisa mungkin di hindari dengan keengganan untuk menjalin hubungan lebih akrab dengan masyarakat sekitar.
Selain itu, menilik karya karya seni, sastra,maupun kreasi teknologi para pemuda saat ini cenderung tercerabut dari semangat emansipasi sosial. Tanpa mengurangi apresiasi semestinya, penulis melihat bahwa karya karya mereka cenderung berhenti pada pencapaian estetika maupun kecanggihan intrinsik karya itu sendiri (Art for Art) belum mencapai taraf seni untuk keindahan seni dan kemnausiaan (Art for Art and Humanity). Karya musik cenderung hanya di nilai dari “selera” industri popular, di lain sisi, karya seni idealis semakin terpinggirkan. Selain itu, karya seni/sastra yang memihak (emansipatif) masih belum tergarap sepenuhnya oleh seniman seniman muda saat ini. Karya teknologi juga masih sulit berkembang akibat rintangan kepentingan industri yang tidak menghendaki inovasi hijau.
Dan, Intelektualisme sempit juga muncul seiring dengan pereduksian makna .Munculnya gerakan radikalisme agama dan peminggiran nalar keilmuan timur (tercerabut dari akar sosial budaya bangsa). Kenyataan ini melahirkan ilmu pengetahuan yang bersifat Ahistoris, dan tidak mampu masuk dalam kontektualitas yang membumi di masyarakat. Polemik kebudayaan yang muncul pada tahun ’30 dan tahun ’70 an masih belum memberikan jawaban utuh mengenai bagaimana nilai nilai keindonesiaan di ejawantahkan dalam peradaban ilmu modern, dalam wujud metodlogis, teoritis, maupun ideologis. Polemik yang belum rampung ini justru melahirkan sistem modern yang cenderung meminggirkan nilai nilai tradisionalitas sebagai kejumudan dan barang antik yang harus di “museumkan”. Ilmu pengetahuan menjadi barang elit (private goods) yang melahirkan jutaan sarjana yang kurang memahami persoalan mendasar bangsa mereka sendiri.
Sudah saat nya pemuda kini berpikir dan bertindak dalam kerangka antithesis di luar sistem hegemoni. Sikap kritis di sertai keberanian untuk berpikir dan bertindak di luar “arus utama” dengan segala konsekuensi nya sudah saat nya kita pertimbangkan. Bagi penulis, masih banyak generasi muda yang belum tercemar oleh anasir anasir sistem hegemoni tersebut. Dan mereka merupakan energi positif yang terus bergerak. Namun, energi mereka masih terpencar pencar dalam “kantong kantong” energi tanpa jembatan penghubung. Penyatuan kantong kantong energi mereka menyangkut visi keindonesiaan sudah saat nya kita mulai dari sekarang. Kerja penyatuan energi untuk mengisi ruang kosong keindonesiaan yang terpinggirkan, kini menjadi Pekerjaan rumah bagi siapapun yang masih menggenggam idealisme keindonesiaan. Tidak ada jaminan popularitas, prestis kebendaan ataupun penghormatan dari siapa pun. Siapkah kita? Semoga.
Hasil Diskusi rutin PMII Rayon Sosio-Humaniora UGM
Yogyakarta,
30 Oktober 2011
Posting Komentar