Pada suatu malam Khalifah Umar r.a. keluar dari rumahnya seorang diri. Beliau berjalan mengunjungi segenap pelosok negeri, menyusuri jalan-jalan setapak, memasuki gang-gang sempit perkampungan warga untuk melihat bagaimana kondisi kehidupan rakyatnya. Di malam perjalanan itu sampailah beliau di dekat suatu bukit dan melihat cahaya yang terang benderang di atasnya; beliau datangi bukit tersebut untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi di sana. Setibanya di tempat tersebut khalifah melihat suatu pemandangan yang aneh. Betapa tidak, di larut malam seperti itu ada seorang ibu yang merebus sesuatu diiringi rengek tangis anak-anaknya. Tidak tahan dengan hal tersebut, Umar r.a. mendatangi ibu anak-anak itu dan meminta penjelasan apa yang sebenarnya terjadi sehingga anak-anaknya menangis dan apa yang ia lakukan dengan membuat api di tengah malam begitu. Tanpa mengetahui siapa yang datang ibu itu menjawab bahwa anak-anak itu menangis karena merasa lapar, sudah beberapa hari ini dia tidak punya bahan makanan untuk dimasak, sedangkan suaminya yang menjadi penopang hidup keluarganya telah meninggal dunia, maka tidak ada lagi yang bisa ia perbuat terhadap anak-anaknya selain melakukan hal tersebut, yaitu membohongi mereka dengan merebus batu supaya mereka tidak menangis dan lekas tidur-sambil membuka tutup panci yang sedari tadi diperhatikan Umar-. Di akhir jawabannya ibu itu mengatakan kepada tamunya yang tidak ia kenal itu bahwa khalifah tidak lagi menepati janjinya untuk melindungi, mengayomi, serta memperhatikan kebutuhan-kebutuhan rakyatnya. Mendengar jawaban si ibu, yang dengan kejujurannya mengkritisi pemerintahan khalifah, betapa malunya Umar waktu itu. Dengan hati hancur ia merasa kepemimpinannya gagal dan ia tidak bertanggung jawab dalam mengemban amanah rakyatnya. Dengan perasaan berkecamuk seperti itu khalifah pamit dan berjanji pada ibu itu untuk menyampaikan hal tersebut pada khalifah.
Di sepanjang perjalanan pulang khalifah sangat bersedih, hatinya gundah gulana, disertai tangisan tersedu-sedu beliau sangat kecewa dengan anggapannya bahwa rakyatnya telah berkecukupan dan telah hidup dengan kondisi yang tenteram. Sesampainya di rumah tanpa berkata sesuatu beliau langsung masuk ke Baitul Mal dan mengambil apa saja yang diperlukan oleh ibu tadi dan memasukkannya ke dalam karung serta memikul sendiri barang-barang tersebut untuk diserahkan kepada yang berhak tadi. Mengetahui hal yang aneh itu para pembantu beliau segera berdatangan dan berebut menawarkan bantuan untuk membawakan barang-barang dalam karung yang dipikul beliau. Akan penawaran ini khalifah menolaknya, memang dengan penawaran tersebut bisa membantu meringankan bebannya, tapi apakah hal itu bisa juga meringankan bebannya ketika besok ia dihadapkan pada persidangan Tuhannya untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatannya di dunia. Inilah yang menjadi pertimbangan khalifah untuk menyerahkan barang tersebut dengan tangannya sendiri. Sesampai di bukit, khalifah Umar r.a. langsung menemui ibu yang malang itu, beliau langsung menyerahkan barang-barang yang dibawanya dan mengatakan bahwa khalifah telah memenuhi janjinya serta selama khalifah hidup beliau akan dengan sekuat tenaga melaksanakan amanah rakyat sebaik-baiknya. Akan halnya janji itu beliau pegang teguh dan melaksanakannya sampai akhir hayatnya sebagai khalifah.
Sungguh kisah yang panjang demikian ini tercatat dalam tinta emas sejarah sebagai teladan, khususnya bagi para pemimpin bangsa bagaimana hendaknya mereka dalam menjalankan kekuasaan yang telah diberikan oleh rakyat sebagai amanah kepadanya. Sudah seharusnya dalam mengambil kebijakan-kebijakan mereka memperhatikan serta mementingkan apa yang menjadi kebutuhan rakyatnya. Akan tetapi lain halnya dengan kenyataannya, tentang apa yang sebenarnya, bagaimana para petani menjerit karena langkanya pupuk, banyaknya wong cilik yang selalu ditindas penguasa, mahalnya biaya pendidikan di perguruan tinggi -apalagi saat ini sudah dikeluarkan UU BHP- sehingga pendidikan hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang saja. Sementara itu di kalangan para penguasa tidak ada kepedulian terhadap rakyat di bawahnya, mereka hanya sibuk berebut kursi kekuasaan dan selanjutnya sibuk memperkaya diri dengan korupsi. Apa yang mereka katakan di media hanya sebagai bualan untuk mendapat simpati rakyat agar dalam pemilihan mendatang mereka bisa merebut kursi kekusaan lagi dan agar bisa memeras rakyat lagi. Itulah keadaan yang nyata terjadi di negeri ini. Sangat sedikit dari kebijakan-kebijakan ideal yang mereka dengung-dengungkan terlihat nyata hasilnya.
Akan halnya seperti apa patokan kebutuhan rakyat yang seharusnya menjadi garapan penguasa dalam kebijakan-kebijakannya. Bukankah semua itu telah tercantum dalam konstitusi kita yaitu UUD ’45 bahwa pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan yang layak itu telah menjadi hak bagi warga negara? Selain itu, masih banyak lagi misalnya tentang hak-hak asasi manusia tentang bagaimana mengurusi fakir miskin serta anak-anak yatim dan tidak boleh membeda-bedakan warga negara menurut pandangan hukum. Hal-hal yang demikan inilah yang seharusnya dipikirkan oleh penguasa, bagaimana supaya terwujud dengan hasil nyata dalam artian benar-benar bisa dirasakan manfaatnya oleh rakyat sehingga kebijakan-kebijakan penguasa bisa sesuai dengan konstitusi serta dapat dipandang sebagai kebijakan yang benar-benar memihak kepentingan rakyat, bukan kebijakan yang menguntungkan kepentingan penguasa.
Untuk mewujudkan yang demikian, yakni kebijakan yang memihak kepentingan rakyat, maka dalam pelaksanaannya tidak semestinya kebijakan tersebut hanya diupayakan dan diketahui oleh para penguasa saja. Dengan analogi bahwa jika pelaksanaannya hanya sebatas demikian, maka kemungkinan besar kebijakan tersebut tidak akan tepat sasaran, sebab kontrol dari rakyat tidak ada sehingga bisa saja kebijakan-kebijakan yang pada dasarnya bisa menyelesaikan masalah hasilnya malah menambah-nambah masalah. Untuk itu, keterbukaan atau transparansi dari penguasa sangat diperlukan. Jika hal ini telah tercapai, maka peranan rakyat yang berkedudukan sebagai yang dipimpin akan menjadi aktif dalam penentuan kebijakan, tidak hanya menjadi obyek suatu kebijakan yang hanya bisa menerima apa adanya, sehingga pada akhirnya sistem demokrasi yang dianut oleh bangsa kita dengan sendirinya bisa tercapai secara ideal.
Lantas selanjutnya, bagaimana bisa mewujudkan sikap terbuka bagi penguasa merupakan hal yang terpenting. Yang demikian ini bisa tercapai jika penguasa memberikan kesempatan yang besar bagi rakyat yang dipimpinnya untuk turut andil dalam pembuatan kebijakan yang akan diterapkan padanya. Atau setidak-tidaknya mereka diberitahu mengenai kebijakan apa yang oleh penguasa bakal dijalankan terhadapnya, serta memberikan pilihan pada rakyat sekiranya sudah sesuai atau belum kebijakan yang sudah maupun yang hendak dijalankan dengan kepentingan rakyat. Memberikan alasan atau argumen kepada rakyat setiap akan menjalankan suatu kebijakan juga sangat diperlukan, sebab hal itu bisa mempertemukan apa yang menjadi keinginan pembuat kebijakan dengan keinginan sasaran kebijakan yang akan terlaksana.
Terakhir kalinya, hal yang penting bagi suksesnya suatu kebijakan terletak pada sifat hubungan antara penguasa sebagai pelaksana kebijakan dengan rakyat sebagai subyek suatu kebijakan. Hubungan yang dimaksud adalah bagaimana tanggapan rakyat terhadap kebijakan penguasa, apakah mereka berusaha membantu, selalu curiga, atau bahkan mereka tidak peduli dengan kebijakan tersebut. Sama juga halnya dengan penguasa ketika melaksanakan suatu kebijakan, apakah benar-benar mementingkan kepentingan rakyat atau hanya mencari keuntungan pribadi. Maka yang harus ditekankan adalah upaya menciptakan hubungan saling pengertian oleh kedua belah pihak dan berusaha bersama-sama untuk mensukseskan suatu kebijakan yang telah sama-sama dimengerti tersebut.
Oleh: M. Adib Zain (Hukum 2008)
Posting Komentar