Oleh: Erdy Syifa’urrohman
Di manapun tempatnya, hal apapun masalahnya, sudah pasti ada perbedaan. Konon pula tentang agama, kelompok, ras, etnis dan lain sebagainya. Perbedaan yang ada lalu mengerucut sebagai mayoritas dan minoritas. Seringkali minoritas ada pada posisi yang tidak kuat, terdiskriminasikan, diperlakukan tak adil bahkan menjadi sasaran amuk dari pihak mayoritas. Posisi itu akan menjadi semakin minor bila minoritas selalu berpikir bahwa mereka selalu menjadi subordinat dan di lain sisi sang mayoritas juga beranggapan bahwa mereka harus selau menjadi yang pertama dan yang paling benar.
Dalam tingkah laku sosial yang ada di masyarakat, penilaian seperti itu adalah sebuah bentuk dari prasangka. Prasangka adalah sikap, yang biasanya negatif, terhadap anggota kelompok tertentu, semata didasarkan pada keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut.
Prasangka-prasangka yang ada ini kemudian akan menjadi sebuah kerangka pikir kognitif yang dikembangkan melalui pengalaman yang mempengaruhi pengolahan informasi sosial yang baru. Dengan mudahnya kita memaksa diri kita sendiri untuk menyimpulkan sesuatu tanpa menggunakan pikiran dan pandangan kita akan fakta yang ada. Kita menjadi sulit untuk berfikir obyektif. Implikasi dari hal tersebut adalah munculnya stereotip bahwa mayoritas adalah pihak yang selalu benar dan minoritas adalah pihak yang selalu salah.
Dalam realitas yang dipenuhi perbedaan ini, terlalu mempersoalkan mayoritas dan minoritas akan menghasilkan masalah yang krusial. Dalam perbedaan, tidak mudah mendudukkan kesetaraan. Oleh sebab itu, segala cara untuk mengunkit-ungkit perbedaan yang ada akan menimbulkan prasangka-prasangka yang lebih buruk. Artinya, timbulnya konflik akan mudah sekali terpantik.
Contohnya saja konflik berbau agama yang baru-baru ini terjadi. Ada sekelompok kecil dari umat Islam yang dianggap melenceng dari ajaran Islam oleh sebagian besar umat Islam yang lain. Pihak yang dianggap melenceng ini tentunya ingin menunjukkan eksistensi mereka dengan menjalankan peribadatan dengan tata cara mereka. Pihak di luar kelompok kecil ini merasa paling benar dan memperlakukan dengan seenaknya sendiri dengan melakukan tindak kekerasan. Padahal tak ada satupun dalil yang membenarkan kekerasan karena perbedaan keyakinan.
Kita semestinya mengubah cara pandang kita dalam memahami mayoritas dan minoritas. Kita tidak bisa selalu memandang segala hal dari satu sisi di mana kita ada dalam posisi mayoritas. Ada baiknya kita melihat hal itu dari sisi di mana kita menjadi pihak minoritas.
Seperti dikatakan di atas tadi, perbedaan itu memang tak bisa dihindari, khususnya masalah agama. Teks yang ada dalam agama memang sangat mendalam dan luas sehingga menghasilkan tafsir yang sangat beragam. Akan tetapi, dalam tafsir itu tidak ada kebenaran mutlak. Kita bisa ibaratkan kebenaran itu sebagai sasaran panah dan tafsir itu sebagai anak panah-anak panah yang dilesatkan menuju sasaran. Kita tak mungkin bisa mencapai sasaran yang paling tepat, kita hanya bisa mendekati sasaran itu. Hal inilah yang patutnya kita sadari.
Dalam menyikapi perbedaan, baik itu antara mayoritas dan minoritas, etnis satu dengan yang lainnya, satu tafsir agama dengan tafsir yang lainnya,  sikap terbaik yang harusnya kita ambil adalah saling menghormati. Kita tidak boleh mengklaim bahwa kita adalah  pihak yang paling benar. Sesulit apapun kita berusaha menghormati, kita tetap harus berusaha.  Mayoritas dan minoritas tak akan menjadi masalah jika masyarakat bisa membangun kebersamaan. Hal ini akan menjadi mudah bila masyarakat menjadikan perbedaan sebagai kekuatan baru dalam merawat harmoni.
Kita harus sadar kalau kita ini hidup dalam negara yang penduduknya sangat bervariasi dalam suku, etnis, dan agama. Sudah barang tentu seluruh penghuni negara ini mendapat pengayoman yang sama. Negara harus melindungi terhadap semua agama yang memiliki hak hidup dan berkembang di negara ini. Selain itu, negara juga harus menghargai keyakinan masyarakat akan agamanya tersebut.
Dalam konteks kehidupan sosial kemasyarakatan memang ada kebebasan. Contohnya kebebasan beragama. Akan tetapi, kebebasan di sini adalah kebebasan yang bertanggung jawab. Kebebasan yang berhubungan dengan keterkaitan antar masyarakat. Bisa saja kita adalah kelompok mayoritas. Bisa saja kita adalah anggota kelompok minoritas. Bisa saja kita bukan saudara satu agama. Bisa saja kita memiliki tafsir yang berbeda dalam satu agama. Akan tetapi, kita tentu saudara sesama manusia yang dalam konsep Islam disebut sebagai ukhuwah basyariyah atau bahkan ukhuwah wathoniyah.
Untuk mengurangi prasangka-prasangka buruk antar kelompok, memperbesar kontak antar kelompok bisa menjadi sarana untuk saling memahami kesamaan di antara kelompok ini. Dengan adanya saling paham akan kesamaan antar kelompok diharapkan daya tarik antar kelompok akan meningkat dan stereotip yang ada sebelumnya bisa bergeser karena pengecualian-pengecualian dari stereotip itu semakin banyak ditemukan.
Cooperative interdependence juga bisa mengurangi prasangka buruk antar kelompok. Maksud dari Cooperative interdependence di sini adalah adanya kerjasama antar kelompok yang tidak berbau kompetitif. Harus dibentuk sebuah kerja sama untuk tujuan bersama yang menimbulkan saling ketergantungan antar kelompok.
Cara lain untuk mengurangi prasangka buruk antar kelompok adalah semakin lamanya close interaction antar kelompok ini.  Kedekatan dan familiaritas antar kelompok akan menumbuhkan rasa saling menyukai dan peduli. Contohnya di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat asuhan almarhum KH Ilyas Ruhyat (mantan Rais Am PBNU), di sekitar itu sudah berpuluh-puluh tahun ada sebuah masjid Ahmadiyah. Pas bertetanggaan dengan pesantren, dan dari dahulu tidak pernah ada santri yang berbuat anarkis ataupun mengejek anggota jemaat Ahmadiyah. Mereka bebas menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan mereka. Hal terpenting dari cara-cara mengurangi prasangka kelompok adalah adanya norma sosial yang mendukung keadilan. Tanpa norma keadilan ini, usaha mengurangi prasangka kelompok bisa menjadi lebih sulit.
Sesungguhnya, harmoni dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bermasyarakat bisa menjadi kenyataan bila antar kelompok yang ada saling menghargai satu sama lain. Dalam harmoni tidak ada dominasi mayoritas dan tirani minoritas. Semua berjalan selayaknya air yang mengalir dan semuanya berhembus seperti udara. Air dan udara bisa menjadi prahara bila tak ada keseimbangan. Oleh karenanya, harmoni menjadi sangat urgen dalam kehidupan.
“Membangun harmoni sosial adalah urusan hati nurani. Makanya, siapa yang memiliki hati nurani pastilah bisa membangun harmoni sosial tersebut”.
(Prof. Dr. Nur Syam, M.Si., rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya).

Posting Komentar

 
Top