Oleh: Mira (FIB ’10)

“Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi, dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi.” (Soe Hok Gie)

Gerakan mahasiswa adalah hal yang tidak asing lagi di lingkungan akademi universitas. Hampir setiap mahasiswa di tiap universitas ingin menunjukkan eksistensinya sebagai seorang mahasiswa melalui gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa merupakan wadah bagi para mahasiswa untuk melakukan transformasi baik bagi diri mereka sendiri maupun orang lain. Tak heran jika muncul berbagai macam jenis gerakan mahasiswa dengan berbagai macam latar belakang, visi, misi, dan juga cita-cita. Tiap gerakan mahasiswa mempunyai ideologi khas yang membedakannya dengan gerakan mahasiswa lain sekaligus memiliki persamaan khas yang selalu mereka junjung tinggi setiap saat. Demokrasi dan keadilan, wujud abstraksi dari berbagai macam gerakan mahasiswa.

Sebagai agent of social change and control adalah hal yang wajar ketika mereka menjunjung tinggi demokrasi dan keadilan sebagai landasan gerakan mereka. Mengambil tema kerakyatan dan menggebu-gebu melakukan revolusi adalah aktivitas normal bagi mereka. Gerakan mahasiswa ibarat lidah rakyat. Pada awalnya mereka mengkritik ketidakadilan pemerintahan dan pada akhirnya mereka pula yang akan memimpin pemerintahan di masa yang akan datang. Gerakan mahasiswa adalah akar pokok dari aktivitas, masa depan sekaligus masalah Negara.

Gerakan mahasiswa memegang peranan yang sakral di lingkungan masyarakat dalam berbagai bidang. Pada angkatan 66, 74, dan 98 gerakan mahasiswa telah menunjukkan eksistensi mereka sebagai agent of social control. Sebagai lidah rakyat, mereka menyerukan keluhan dan ide rakyat yang masih saja terhalang oleh kerasnya dinding politik pemerintah. Suara mereka adalah angin surga bagi rakyat jelata. Hal itu tampak jelas ketika ditelusuri sejarah perjuangan gerakan mahasiswa pada tempo dulu.

Pada masa awal pergerakan sebelum kemerdekaan dipelopori oleh Budi Utomo kemudian berlanjut pada masa gerakan pemuda Indonesia dengan semboyan kebanggaan Sumpah Pemuda. Kemudian pada angkatan 66 muncul seorang legendaris mahasiswa Indonesia, Soe Hok Gie serta gerakan mahasiswa angkatan 74 dan 98. Ki Hadjar Dewantara pada masa mudanya bergerak di dunia pendidikan dan budaya menyerukan arti pentingnya nasionalisme di kalangan pemuda Indonesia. Gie dengan artikel dan catatannya membuka dinamika dunia politik menjadi lebih terbuka dan transparan dengan tingkat intelektualitas khas mahasiswa. Begitu juga dengan angkatan 74 dan 98 berusaha memperjuangkan revolusi pemerintahan dari busuknya ketidakadilan dan tindak korupsi pemerintah. Tiap angkatan memiliki cannon story dan mainstream tersendiri dalam memperjuangkan hakikat mereka sebagai mahasiswa yang aktif, progresif, kreatif, dan demokratis.

Mereka berhasil menunjukkan kontribusi mereka kepada rakyat sebagai seorang mahasiswa dengan idealisme mereka. Lantas bagaimana dengan gerakan mahasiswa pada masa kini? Cannon story dan mainstream seperti apakah yang akan mereka usung sebagai catatan sejarah selanjutnya? idealisme apakah yang akan menjadi landasan pergerakan mereka? Samakah seperti pergerakan sebelumnya-kah? Berevolusikah? Revolusi macam apa yang mereka perjuangkan saat ini? Rentetan pertanyaan tersebut adalah topik utama yang harus segera dicari solusinya oleh mahasiswa itu sendiri sebagai instropeksi apakah senyatanya mereka lidah rakyat yang kelak menjadi pemimpin bangsa ataukah hanya sekedar unjuk gigi di antara bayang-bayang semu demokrasi semata.

Mahasiswa sendiri adalah wujud riil dari kualitas intelektualitas bangsa. Negara ibarat dunia dan mahasiswa adalah mataharinya. Sebuah pengagungan status yang tak mungkin bisa didapat oleh status lain sekaligus jebakan peranan bagi mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa dari zaman Universitas Bologna, Paris berdiri hingga masa kini selalu identik dengan kekuatan pena mereka. Pena adalah kekuatan dan keajaiban diri mereka. Hal itu terbukti pada masa Gie maupun Ki Hadjar Dewantara dimana mereka sama-sama berhasil muncul sebagai legenda mahasiswa dengan kekuatan pena mereka. Mereka berbicara tidak hanya dengan ucapan tetapi dengan tulisan yang sarat akan makna arti perjuangan, tuntutan, dan moralitas. Demokrasi yang mereka jalani adalah demokrasi diam. Hanya pena yang berkata dan fakta pun terungkap. Konsep menulis artikel mereka adalah konsep sederhana tapi menjadi luar biasa tatkala mereka menggores nilai-nilai keadilan yang masih saja dilanggar oleh pemerintah secara transparan dan berani.

Bagaimana dengan mahasiswa kini? Mahasiswa kini pun aktif menulis artikel sama seperti mahasiswa pada masa sebelumnya. Mereka pun aktif berorganisasi dan juga rajin membahas isu terkini. Tapi masih ada dinding pembatas yang membedakan antara mahasiswa kini dengan mahasiswa tempo dulu. Ada benang tipis yang terputus sehingga mereka masih belum mampu menunjukkan cannon story mereka seperti masa-masa sebelumnya. Tapi mereka belum menyadari hal itu. Mereka masih saja bangga dengan bayang-bayang semu demokratis mereka yang berujung pada permainan kata belaka. Just talk, do less.

Mereka juga belum berani mengkritisi diri mereka sendiri dan masih mementingkan golongan-golongan mereka masing-masing dibandingkan menjadi controlling social. Asas keadilan yang mereka junjung pun seperti asap perapian saja, mengepul tapi tak berjejak. Tak jarang sistem perputaran politik kampus yang mereka jalankan sebagai pembelajaran sikap demokratis hanya berputar di garis yang itu-itu saja. Julukan mahasiswa transformatif, kreatif, dan progresif tak bermakna apapun lagi. Hanya sekedar julukan tanpa ada pembuktian. Mahasiswa ibarat lidah rakyat pun sudah tidak bisa diwujudkan secara murni. Mahasiswa terperangkap dalam presticius status mereka sendiri.

Kebanggaan sekedar kebanggaan semu. Gerakan-gerakan bersifat formalitas dan lebih condong memikirkan kepentingan dan ideologi masing-masing. Ini adalah hal yang seharusnya mulai dikoreksi lagi oleh masing-masing pribadi. Sehingga gerakan mahasiswa sekarang pun masih dapat mempertahankan makna dari mahasiswa aktif, progresif, dan transformatif yang selalu menjadi dasar pergerakan mereka. Mahasiswa tidak hanya sekedar bermain kata tetapi juga memberikan kontribusi nyata mereka terhadap masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Bentuk kontribusi pun tidak harus dalam bentuk politik seperti melakukan aksi demo atau mogok. Mahasiswa adalah lambang intelektualitas bangsa dan masa pun sudah maju seiring dengan perkembangan teknologi. Tak ada salahnya memanfaatkan apa yang ada di hadapan sebagai batu loncatan untuk memberikan sumbang sih kepada masyarakat.

Meski tiap gerakan mahasiswa memiliki visi dan misi berbeda namun pada hakekatnya keberadaan mereka sama, yakni sebagai lidah dan tangan panjang rakyat. Kontribusi mereka sangat diperlukan oleh masyarakat. Keahlian dan jiwa sosial mereka diharapkan oleh rakyat kecil. Tak ada salahnya tidak membawa visi dan misi pribadi saat bekerja untuk rakyat. Semua mahasiswa itu satu, tidak peduli darimana asal muasal,latar belakang, dan kehidupan mereka. Mereka adalah mahasiswa dan mereka ada untuk kita. Mari angkat tangan bersama dan saling bahu membahu untuk mewujudkan citra mahasiswa aktif, progresif, dan transformatif sehingga gerakan mahasiswa sekarang pun memiliki cannon story tersendiri seperti gerakan-gerakan mahasiswa pada masa-masa sebelumnya. Hidup mahasiswa! Hidup Indonesia!

Posting Komentar

 
Top