Oleh: Mochammad Said
“…saya menegaskan bahwa gedung ini didirikan dengan uang rakyat, thus, sebenarnya milik rakyat, dan untuk rakyat”
(pidato sambutan Bung Karno pada
peresmian Gedung Pusat UGM tahun 1959)
“…perlulah anak-anak kita dekatkan hidupnya dengan perikehidupan rakyat, agar mereka tidak hanya dapat “pengetahuan” saja tentang hidup rakyatnya, namun juga “mengalami” sendiri dan kemudian tidak hidup berpisahan dengan rakyat”
(pidato sambutan Ki Hadjar Dewantara pada
penganugerahan Doctor Honoris Causa di UGM tahun 1957)
Beberapa bulan ini kita mendapati banyaknya pemberitaan di berbagai media mengenai fenomena Ujian Nasional (UN), mulai dari berbagai persiapan yang dilakukan sekolah beserta para muridnya dalam menghadapi UN hingga berita tentang ketidaklulusan UN yang melanda banyak siswa di berbagai daerah. Menjelang UN, sekolah-sekolah sibuk men-drill siswa-siswanya dengan berbagai materi dan soal-soal prediksi UN, menyelenggarakan istighotsah atau doa bersama, dan sebagainya. Lalu ketika UN telah usai, kita dapat menyaksikan bagaimana sorak-sorai siswa-siswa yang lulus –di satu sisi- dan –di sisi lain- tangisan serta shock, bahkan sampai bunuh diri, para siswa yang tidak lulus UN.
Fenomena tersebut membuat penulis bertanya, mengapa hal tersebut bisa terjadi? Kenapa anak-anak itu tampak begitu tertekan dalam menghadapi UN? Kenapa pula ketidaklulusan UN membuat mereka menangis histeris, bahkan ada yang sampai bunuh diri? Apakah ada yang salah dengan UN?
Untuk memahami fenomena UN di atas, maka kita harus melongok kembali pada hakikat filosofis dari apa yang kita sebut dengan pendidikan, karena UN adalah bagian dari upaya pendidikan. Apakah pendidikan itu? Kenapa perlu ada pendidikan? Apa tujuan sebenarnya dari pendidikan itu? Bagaimana cara melaksanakan upaya pendidikan yang baik?
Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan nasional kita, mengatakan bahwa pendidikan harus dibedakan dengan pengajaran, karena pengajaran hanyalah satu bagian dari pendidikan. Secara umum, menurut beliau, pendidikan adalah ‘tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak’. Artinya, pendidikan haruslah berorientasi pada pembangunan intelektualitas dan juga karakter/kepribadian nasional. Jadi pendidikan tidak hanya mengurusi pengajaran yang intelektualistis dan materialistis, tetapi juga memperhatikan soal bagaimana membangun kesadaran anak didik terhadap jati diri mereka sebagai anak bangsa Indonesia, sehingga mereka memiliki kesadaran tentang kebudayaan Indonesia, peduli pada kondisi kehidupan rakyat, dan mau berbuat secara konkret untuk membangun bangsa menuju kesejahteraan bersama.
Ki Hajar dalam konsep pendidikannya sangat menekankan pentingnya pendidikan kebudayaan, karena menurut beliau pendidikan adalah alat, dan alat itu harus ditempatkan dan diperuntukkan sesuai dengan kedudukan dan fungsinya. Oleh karenanya, ketika kita melaksanakan pendidikan kepada anak-anak kita, maka kita harus benar-benar tahu dan sadar tentang fungsi pendidikan itu bagi bangsa Indonesia, tidak sekedar ‘membeo’ pada konsep pendidikan orang-orang di luar bangsa kita. Pendidikan haruslah ditujukan ke arah keluhuran manusia, nusa dan bangsa, tidak memisahkan diri dari kesatuan perikemanusiaan.
Namun di dataran empiris kita dapat menyaksikan sendiri bagaimana mainstream konsep dan proses pendidikan kita sangatlah materialistis dan intelektualistis. Pendidikan kita hanya menekankan pencapaian dan pengembangan kecerdasan intelektual secara individual, yang menghasilkan orang-orang (akademisi, politisi, jaksa, polisi, dan sebagainya) yang memiliki kualitas keilmuan memadai namun abai terhadap berbagai problem kemasyarakatan seperti kemiskinan, ketidakadilan, penindasan, penggusuran, dan sebagainya. Mereka menuntut ilmu hanya untuk ilmu itu sendiri dan untuk kepentingannya sendiri, entah itu jabatan, kekuasaan, materi, atau sekedar prestise. Apakah individu-individu demikian yang ingin kita hasilkan dari pendidikan kita?
Kalau kita berbicara secara lebih teoretis, maka kenyataan empiris di atas tidak lepas dari paradigma ekonomi politik pendidikan yang sangat kapitalistik. Kenapa? Karena kapitalisme sebagai sebuah ‘ideologi’ menekankan pada persaingan murni, di mana yang kuat dialah yang menang. Dan kalau kita konteks-kan dengan problem pendidikan Indonesia, maka pendidikan kita -yang kapitalistik saat ini- menekankan pada persaingan anak didik untuk mencapai setinggi mungkin kualitas pendidikan yang diukur –secara positivistik- dari angka-angka rapor, dan termasuk juga angka-angka statistik dari hasil Ujian Nasional (UN); juga dari jenjang pendidikan formal yang ditempuh, di mana dibangun asumsi bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan formal seseorang, maka kualitasnya semakin baik. Dan orang-orang yang memiliki ijazah pendidikan tinggi inilah yang bisa dikatakan ’orang-orang terpilih’, sedangkan yang lainnya adalah orang-orang yang secara otomatis tersingkirkan dari persaingan.
Padahal, untuk menempuh suatu jenjang pendidikan formal dibutuhkan biaya yang tidak sedikit, sehingga akses terhadapnya tentu saja hanya dimiliki oleh mereka yang ‘berpunya’. Dan kalau kita berpikir lebih kritis, apakah kekalahan persaingan mereka yang miskin itu kesalahan mereka sendiri? Kalau menurut kacamata kapitalisme, jawabannya adalah iya, entah itu dengan alasan rendahnya need of achievement mereka, kultur mereka yang kolot, pesimistik, dan pasif, atau sederet alasan lainnya yang memojokkan mereka. Padahal di sisi lain terdapat suatu rekayasa sosial (social engineering) yang membuat mereka miskin, yaitu kebijakan negara terkait ekonomi. Kita dapat mengamati bagaimana pemerintah sebagai pengambil kebijakan (decision maker) dalam hal investasi lebih berpihak pada para pengusaha dan pemodal besar serta pengusaha-pengusaha asing daripada pengusaha kecil dan menengah seperti petani, nelayan, pedagang kaki lima, pedagang pasar tradisional, dan sebagainya. Pemerintah juga tidak peduli pada kesejahteraan para buruh, karena mereka lebih melayani keinginan para investor agar biaya produksi tidak tinggi (buruh merupakan bagian dari faktor produksi).
Jadi, apakah benar kemiskinan dan kebodohan sebagian besar rakyat kita ini karena kesalahan mereka sendiri? Jawabannya adalah tidak. Kondisi itu disebabkan oleh faktor yang sifatnya struktural, yaitu keberpihakan pemerintah dalam pengambilan kebijakannya.
Oleh karenanya, ketika kita melihat problem pendidikan saat ini, solusinya adalah kita harus melakukan reorientasi konsep pendidikan kita menuju paradigma pendidikan yang –sebagaimana difatwakan Ki Hajar Dewantara- tidak hanya menekankan intelektualitas dan skill yang hanya berorientasi pada keuntungan diri sendiri, tetapi juga soal bagaimana membangun kesadaran dan kepekaan sosial (sense of social crisis) anak didik agar mereka memiliki kepedulian terhadap bangsanya, terhadap kebudayaannya, dan mau berbuat kebaikan untuk kemanusiaan universal. Itulah jati diri manusia Indonesia. Kita merindukan lahirnya sosok-sosok seperti Soekarno, Hatta, Ki Hajar, Sjahrir, Gus Dur, Hoegeng, Mubyarto, Soedjatmoko, Pram, Gie, Tan Malaka, dan sebagainya, yang sadar akan ke-Indonesiaan-nya dan mau berbuat secara tulus untuk kebaikan bangsa dan negaranya, Indonesia. Bersediakah kita berkorban dan berjuang untuk mewujudkannya?
i Kepala Departemen Advokasi LM Psikologi UGM (2008-2009); Mantan Ketua Pengurus Komisariat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Gadjah Mada (2009-2010).
Next
Posting Lebih Baru
Previous
This is the last post.

Posting Komentar

 
Top