Pada 19 Desember 2010 ini UGM kembali merayakan ulang tahunnya yang ke-59, atau yang sering disebut dengan Dies Natalis. Seperti lazimnya Dies Natalis pada tahun-tahun sebelumnya, UGM pun mengadakan berbagai lomba dalam rangka memperingati ulang tahunnya tersebut, seperti lomba penulisan esai, lomba kesenian, dan lomba keolahragaan. Selain itu, UGM juga mengadakan kegiatan lain, salah satunya yang penulis ketahui adalah Pagelaran Wayang Kulit.
Apakah ada yang berbeda dengan Dies Natalis tahun ini dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya? Entahlah. Namun ada satu hal yang menggelitik dan mengusik pikiran penulis, yaitu karena pada saat yang berdekatan, tepatnya pada tanggal 9 Desember minggu lalu, RUU BHP disahkan menjadi UU BHP. UU BHP merupakan kelanjutan dari UU BHMN. Dengan adanya UU BHP ini, maka semakin jelas bahwa UGM merupakan perguruan tinggi yang ‘otonom’. Otonom di sini sebenarnya bukanlah berarti UGM berhak menentukan sendiri kebijakan-kebijakan pendidikannya, karena otonomisasi yang terjadi mengharuskan UGM mencari dana pendidikan sendiri tanpa bantuan dari pemerintah seperti sebelumnya. Hal inilah yang kemudian dijadikan alasan bagi UGM untuk mendirikan dan mengembangkan berbagai ‘sayap bisnis’-nya. Namun yang paling tragis dan menusuk hati nurani adalah kenyataan bahwa UGM kemudian menjadikan mahasiswa sebagai sumber utama pemasukan dana bagi ‘usaha’ pendidikannya. Bagaimana dengan tanggung jawab pemerintah sebagai penjamin pendidikan warga negaranya?
Pernah seorang teman bercerita bahwa BEM KM UGM, entah tahun berapa (pada masa Pak Sofian Effendi), pernah berdemonstrasi di Gedung Pusat UGM untuk mengajak rektor ‘menggugat’ pemerintah atas keputusannya mengeluarkan PP 153 tahun 2000 dan berbagai peraturan lainnya yang menjadi landasan bagi kebijakan privatisasi pendidikan (yang seharusnya menjadi tanggung jawab mereka). Namun, usaha tersebut gagal karena rektor kabur dari Gedung Pusat menggunakan mobil SKKK.
Yang menjadi keheranan penulis dari kejadian di atas adalah, kenapa rektor dan jajarannya tidak bersedia diajak untuk ‘menggugat’ pemerintah yang telah mengeluarkan kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat? Padahal, mereka sendiri tidak setuju dengan hal itu. Namun ketika mereka disalahkan dan diprotes karena kebijakan-kebijakannya yang merupakan ekses dari kebijakan pemerintah, mereka tidak terima. Di mana letak konsistensi mereka?
Dan pada kepemimpinan Pak Sudjarwadi inipun kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak kepada mahasiswa dan masyarakat berlanjut. Pada tahun 2008 ini SPMA 0,’ dihapuskan, sehingga sangat sulit bagi mahasiswa dari keluarga miskin untuk membayar biaya masuk UGM yang minimal Rp. 5 juta, bahkan di beberapa fakultas lebih dari itu. Jatah beasiswa BOP pun semakin menyusut, yaitu hanya untuk 1200 mahasiswa, padahal jumlah mahasiswa UGM lebih dari 45000. Dan ada satu hal yang membuat banyak orang bertanya-tanya dan penasaran, yaitu adanya indikasi ‘jual-beli kursi’ UM-UGM. Kursi jatah untuk mahasiswa yang masuk lewat jalur UM-UGM ‘dijual’ dengan harga tertentu.
Bukankah kenyataan di atas sudah sangat melenceng dari latar belakang historis dan cita-cita UGM sebagai universitas nasionalis, universitas kerakyatan, dan universitas perjuangan?
Penulis berpikir bahwa kondisi pendidikan di UGM khususnya dan di tanah air umumnya sudah sangat melenceng dari tujuan awalnya, yaitu dari usaha untuk menghasilkan manusia yang humanis, peduli, dan merdeka menjadi ‘usaha’ untuk menyediakan stok pekerja-pekerja profesional dan kompeten di bidangnya untuk menduduki berbagai jabatan di instansi-instansi atau perusahaan-perusahaan. Barangsiapa ingin menduduki jabatan tinggi, maka ia harus mengeluarkan biaya yang lebih banyak agar kompetensi yang didapatkan sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Bagi yang tidak mampu mengeluarkan biaya untuk mendapatkan kompetensi yang diinginkan, maka ia harus menerima kompetensi dan jabatan yang tersedia.
Sampai kapan kondisi yang memprihatinkan ini akan berakhir mendera dunia pendidikan tanah air? Di mana kepedulian mahasiswa sebagai agent of change? Ah, penulis merasa gelar itu tidak pantas lagi disandang mahasiswa, karena merekapun sudah terseret arus besar kapitalisme yang dibuat oleh para pemodal dengan ‘alat’ pemerintah melalui berbagai kebijakan yang tidak adil itu. Begitu pula dengan para pendidik, dosen, jajaran dekanat, dan jajaran rektorat, di mana kepedulian mereka? Mungkin dalam hati mereka mereka menentang realitas yang ada, namun apabila sebuah keyakinan tidak diikuti dengan konsistensi perbuatan hal itu sama saja dengan kemunafikan. Mengapa kita semua dari seluruh komponen bangsa, yang terikat oleh sebuah komitmen untuk bersama dan bersatu dalam bingkai Indonesia tanpa memandang suku, agama, golongan, kelompok, umur, dan sebagainya, bergabung menjadi satu aliansi yang disebut dengan ‘ALIANSI RAKYAT INDONESIA’ menentang komersialisasi dan komodifikasi pendidikan di negeri ini?
*Ditulis oleh seseorang yang turut merasakan ganasnya kepitalisme pendidikan di UGM yang resah dan gelisah dengan masa depan pendidikan di Indonesia
Dalam rubrikisu buletin dialektika edisi 4
Posting Komentar