Oleh : M. Fatah. Mustaqim
Apabila kita ingin mendiskusikan hubungan antara islam dan demokrasi maka kita tidak akan bisa melepaskannya dari pergulatan antara Islam “Vis a Vis” Negara dengan keruwetan konflik, perkelahian yang berdarah darah dan bahkan perkawinan yang rukun di beberapa negara pengusung paham moderatisme (toleransi).
Benang merah hubungan antara Islam dan demokrasi pada dasarnya merujuk pada relasi fungsional timbal balik diantara keduanya dalam rangka mencapai sebuah tatanan masyarakat yang ideal (madani), sesuai dengan semangat nilai nilai islam.
Nah, sistem apakah yang lebih akomodatif dan tepat untuk mengantarkan sebuah negara pada tercapainya kesejahteraan lahir batin rakyatnya,? Negara Demokrasi ataukah negara Teokrasi (negara islam) ?
Pertanyaan mendasar di atas telah menimbulkan sikap saling klaim diantara pihak pro maupun kontra demokrasi, dan memunculkan sebuah pertanyaan mengenai apakah islam sesuai dan harus mendukung negara demokrasi ataukah islam harus menerapkan negara Teokrasi (berdasarkan hukum tuhan)?.
Pertanyaan filosofis tersebut pada dasarnya telah terjawab dalam catatan sejarah umat islam yaitu pada masa khulafaurrasyidin dimana pada waktu itu tidak ada mekanisme suksesi kepemimpinan yang baku yang di akui secara bulat oleh umat muslim pada waktu itu.
Perbedaan pendapat mengenai mekanisme suksesi kepemimpinan diatas tentunya mengajarkan kepada kita bahwa islam tidak menjelaskan secara eksplisit konsep negara secara lebih operasional namun hanya mengajarkan nilai nilai moral dan etika bernegara yang harus dijadikan landasan spirit dan inspirasi watak ksatria umat muslim di dunia politik. dengan kata lain, islam hanya mengajarkan nilai nilai substantif berkaitan dengan nilai nilai yang harus di bela dan diperjuangkan oleh umat islam sebagai manifestasi rahmatan lil alamin.
Oleh sebab itu, Islam secara tersirat hanya memberikan penegasan bahwa bentuk formal dan kelembagaan kekhalifahan ialah wewenang dan otoritas penuh manusia selaku mandataris tuhan di bumi, sehingga bagaimana bentuk dan variasi kekhalifahan menjadi tanggungjawab manusia dengan satu prinsip pokok bahwa masalah kemasyarakatan harus di selesaikan dengan prinsip prinsip Syuro (musyawarah) diantara semua elemen masyarakat dan para pemangku kepentingan sehingga akan tercapai sebuah kebijakan yang adil dan melindungi semua.
Namun, ketika sistem dinasti (kerajaan) Umayyah menguasai jazirah arab dan memimpin kaum muslim dengan “mengatasnamakan Tuhan” dan “melembagakan” syariat islam maka, ajaran demokrasi (syuro) yang telah ditanamkan oleh Muhammad Saw pun terkubur. Sejak saat itu, perbedaan pendapat adalah sebuah “ tindakan kafir” dan penafsiran tunggal adalah harga mutlak karena mereka ialah “Wakil Tuhan”
Islam dan Demokrasi dalam catatan sejarah selalu menghadirkan polemik dan pemaknaan yang terus berkembang dan melahirkan polarisasi (pertentangan) internal di kalangan kaum muslim mulai dari kelompok pro demokrasi dengan totalitas dan liberalism nya, kelompok pro demokrasi yang masih “ambigu” dengan sikap sektarian dan penolakannya atas isu isu feminism_ namun masih menerima bentuk negara republik dan pancasila dalam konteks indonesia, hingga kelompok yang secara total menolak demokrasi dan “anak turunnya”.
Diskursus mengenai Islam dan Demokrasi hingga saat ini tetap menjadi sebuah perdebatan yang hangat apabila kita berani menyentuh aspek aspek yang sensitif dan feminis berkaitan dengan HAM (hak asasi manusia) yang menjadi ruh demokrasi. Persoalan persoalan feminism yang sensitif terkait dengan status hukum pindah agama, perkawinan lintas agama, ataupun terkait dengan kesetaraan gender dalam berbagai aspek kehidupan merupakan praktik yang sah dan legal dalam sebuah negara demokrasi yang seutuhnya. Sementara itu hingga saat ini mayoritas umat muslim masih menganggap “tabu” isu isu feminism dan seringkali meng-“kriminal”-kan seseorang yang berpindah agama (murtad), dan bahkan “mencibir” seseorang yang melakukan perkawinan lintas agama. Penulis tidak bermaksud untuk membedah lebih dalam masalah feminism namun penulis hanya akan membahas mengenai islam dan demokrasi dalam konteks sejarah, polemik dan pemaknaannya yang mengalami pasang surut dan perkelahian pemaknaan khusus nya mulai dari masa post kolonialisme barat di negara negara mayoritas muslim di dunia.
Dewasa ini tidak dapat di ragukan lagi bahwa demokrasi telah menjelma menjadi paham “mainstream” (arus utama) di hampir seluruh negara negara di dunia termasuk di negara negara mayoritas mulim, meskipun dengan tampilan wajah yang variatif dan berbeda beda. Hegemoni paham demokrasi tidak terlepas dari sejarah panjang yang menyertainya. Sejak awal kemunculan paham demokrasi yang di usung oleh para nasionalis maupun sosialis sekuler di negara negara mayoritas muslim,_ telah menjelma menjadi paham yang hegemonik (mainstream) yang di terapkan menjadi sebuah sistem republik dalam wadah negara bangsa yang  melindungi semua warga negara tanpa diskriminasi dan privilise (keistimewaan) pada warga negara tertentu (mayoritas agama ataupun suku bangsa). Selain itu, negara demokrasi juga mengadopsi dan menerapkan Hukum positif yang melandasi hukum konstitusi, maupun perundang undangan operasional di bawahnya. Nah, dua prinsip fundamental demokrasi tersebut tentunya sangat bertolak belakang dengan pemahaman sebagian kaum muslim puritan (islam politik) yang beranggapan bahwa negara harus berdasarkan hukum syariat tuhan (versi mereka red) dan umat muslim harus mempunyai hak istimewa (privilese).
Perkelahian ideologis inilah yang dalam catatan sejarah Indonesia telah menyulut pemberontakan DI/TII yang di pimpin oleh Kartosoewirjo di jawa barat yang menolak negara pancasila waktu itu. Selain itu, konflik antara kaum islam politik dan pengusung paham demokrasi juga tersulut di mesir antara rezim sosialisme sekuler presiden gamal abdel naseer dan kelompok ikhwanul muslimin pimpinan mendiang sayyid Qutb.
Perkelahian politis ideologis tersebut pada dasarnya berpangkal dari “Gap” (kesenjangan)  sudut pandang mengenai sebuah idealisme dan pertanyaan “apakah negara harus di tegakkan dengan hukum Tuhan secara formal dan operasional ataukah sama sekali tidak perlu”? dan kemudian mereka berdebat…………
M. kanan       :   “ Mengapa demikian?”
M. kiri              :   “Apakah saudara tidak berpikir?”
M. kanan       :  “Berpikir bagaimana?”
M. kiri              :  “Bukankah manusia telah di tetapkan tuhan menjadi khalifah di bumi? Mengapa tuhan masih ingin ikut campur dan ingin menerapkan hukumnya atas manusia yang sudah mendapat mandatnya dengan akal dan kedewasaannya?  Bukankah sejarah islam telah menunjukkan pada kita             semua bahwa penerapan Hukum tuhan hanya akan mengakibatkan politisasi agama dan penafsiran yang “semau gue” (menurut selera penguasa)”
M. kanan       :  “Memang, tapi apabila syariat tidak kami formalkan, bagaimana kami harus menegakkannya dengan kontrol yang jelas dan mengikat?”
M. kiri              :  “Bukankah kau bisa membumikan syariat dengan menancapkan nilai-nilai islam dalam kearifan budaya, seni, musik, pendidikan, ekonomi, atau dalam politik yang santun dan memihak”
M. kanan       :  “Entahlah?”
Nah, perdebatan inilah yang kemudian membangkitkan diskursus (perdebatan) di kalangan internal umat muslim antara kaum muslim moderat VS muslim politik (fundamentalisme).
Hubungan antara Islam dan Demokrasi telah menjadi diskursus yang menarik di kalangan intelektual muslim di seluruh dunia terutama pada masa post kolonialisme barat. Diskursus tersebut berkembang dan menjelma menjadi “perkelahian” ideologis yang “berdarah darah” di antara umat muslim konservatif maupun reformis tatkala paham demokrasi mulai di terapkan secara operasional menjadi sebuah sistem dan bentuk pemerintahan (kekhalifahan) di negara negara mayoritas muslim. Pertarungan ideologis menyangkut demokrasi ternyata telah menyeret perdebatan hingga menyentuh aspek teologis (akidah) menyangkut pertanyaan apakah demokrasi kompatibel (sesuai) dengan nilai nilai islam ataukah hanya “copy paste” dari barat semata dan “haram” hukumnya di terapkan sebagai sistem negara.
Pergulatan teologis diantara umat muslim mengenai keabsahan demokrasi terus berkembang dan sulit mencapai titik temu yang lebih “kompromistis. kaum muslim moderat berpandangan bahwa demokrasi wajib di terapkan secara total dan negara wajib melindungi Hak asasi manusia warga negara nya berkaitan dengan hak pindah agama, hak perkawinan lintas agama maupun hak hak kaum minoritas. Kelompok ini berpandangan bahwa umat muslim harus berani menginterpretasi ulang (menafsirkan ulang) hukum hukum fiqih sesuai dengan semangat zaman dan nilai nilai HAM yang diakui telah menjadi hukum internasional serta sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan masyarakat di abad informasi saat ini. dan sistem demokrasi menurut mereka sangat sesuai dengan  diktum ushul fiqh menyatakan bahwa “kebijakan seorang pemimpin harus berkaitan langsung dengan peningkatan kesejahteraan rakyat secara lahir batin” (dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat). sebab penilaian yang fair dan adil mengenai berhasil atau gagal nya seorang pemimpin ialah rakyat itu sendiri. penilaian atau kontrol oleh rakyat hanya mungkin dilakukan di sebuah negara demokrasi. Bukankah begitu ?
Sementara itu, kaum muslim puritan berpandangan bahwa paham feminism dan HAM wajib diberangus dan para pendukung paham tersebut wajib di “kriminalkan”. Tapi mungkinkah mereka bertindak demikian di sebuah negara demokrasi ? kalaupun mereka berani, tentu mereka sendirilah yang harus menanggung predikat “kriminal”. Bukankah demikian ?

Posting Komentar

 
Top