Beberapa waktu lalu, secara tidak sengaja saya membuka sebuah blog, di sana terpampang artikel yang cukup menarik. Artikel tersebut mengungkap sejarah jas almamater kita. Sebagian dari kita mungkin bingung menyebut warna jas almamater kita, hijaukah atau coklat. Selain itu, sebagian besar dari kita menganggap jas almamater UGM jelek. Namun, setelah kita tahu histori di balik warna jas itu, kita pasti akan bangga mengenakannya.
Di balik warna jas almamater UGM ada sebuah histori yang mengesankan. UGM lahir ketika Indonesia mengalami masa-masa genting. Pada waktu itu, sandang sangat sulit, muncul semacam tren pada masyarakat kelas bawah, yaitu mengenakan baju yang terbuat dari karung goni. Dan UGM yang merasa senasib dan sepenanggungan dengan rakyat memilih warna yang mirip dengan karung goni sebagai jas almamaternya. Dan jadilah warna antara coklat dan hijau itu digunakan untuk jas almamater. Cerita di atas mengindikasikan bahwa UGM adalah kampus yang tidak eksklusif, sesuai dengan jargonnya, UGM adalah kampus kerakyatan.
UGM sebagai kampus kerakyatan ditetapkan sebagai jargon karena UGM bukan didirikan oleh pemerintah, UGM didirikan atas aspirasi rakyat yang dipelopori oleh seorang tokoh kerakyatan yang sekarang namanya diabadikan sebagai nama rumah sakit, Prof. DR. Sardjito. UGM sebagai kampus kerakyatan merupakan suatu pernyataan bahwa UGM adalah kampus yang berpihak kepada rakyat dan ada untuk rakyat.
Namun benarkah demikian?
Pada tahun 2000, pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan transformasi PTN menuju PT BHMN (perguruan tinggi badan hukum milik negara). PT BHMN diberlakukan untuk mengatasi ketidakefisienan PTN. PT BHMN memberikan kebebasan kepada universitas untuk menjalin kerjasama denagn pihak swasta dalam penyelenggaraan pendidikan. Dijelaskan dalam penyelenggaraan PT BHMN, pemerintah memberikan subsidi sebesar 60 %, mahasiswa 20 %, dan kalangan dunia usaha menyumbang 20 %. Beberapa PTN tercatat telah berganti menjadi PT BHMN. Namun berbagai kalangan menilai PT BHMN ini adalah bentuk lain dari neoliberalisme di bidang pendidikan.BHMN menuntut universitas untuk mencari dana mandiri. Dan untuk mewujudkan hal in, BHMN menggunakan beberapa cara. Pertama, menaikkan SPP setinggi-tingginya. Kedua, menarik investor sebanyak mungkin agar mau menanamkan investasi ke BHMN. Ketiga, menjual hasil produksinya agar tenaga kerja BHMN (dosen dan mahasiswa ) laku di pasaran, serta menjual hasil riset unggulan.
UGM sebagai salah satu universitas yang telah berubah menjadi PT BHMN mengeluarkan berbagai kebijakan. Pertama, membuka atau menutup jurusan atau program studi dan pusat studi sesuai permintaan (pasar/pesanan/pemilik modal). Di antaranya: tahun 2005 ditutupnya Program Studi Obat Alami (Farmasi) diganti dengan Farmasi Bahan Alami. Tahun 2006 ditutupnya Program Studi Sastra Arab. Tahun 2007 Program Studi di Fak.Geografi yang awalnya berjumlah 5 berkurang menjadi 2 (digabung).. Kedua, sentralisasi pengelolaan dana sesuai dengan prinsip SADAR (Sentralisasi Administrasi Desentralisasi Akademik dan Riset). Misalnya, kerjasama JICA (Funding dari Jepang) dengan PSIK dalam Recovery Disaster. Ketiga, Pengembangan unit usaha dan komersialisasi aset. Keempat, peningkatan partisipasi orang tua (mahasiswa) dalam pembiayaan pendidikan. Naiknya biaya BOP dan SPMA setiap tahun ajaran, penerimaan mahasiswa dengan jalur kemitraan/jalur khusus. Kelima, mencari dana hibah/pinjaman dari lembaga-lembaga ekonomi/pendidikan internasional. Berbagai kebijakan di atas yang paling terasa adalah meningginya biaya kuliah di UGM. Selain itu, dengan jalur khusus/jalur kemitraan yang ditetapkan UGM, bukan tidak mungkin adanya mahasiswa yang masuk tanpa melalui prosedur yang berlaku, cukup menggunakan perjanjian yang saling menguntungkan.
Tanggal 17 Desember 2008, dewan rakyat kita mengetok palu untuk mengesahkan UU BHP (Badan Hukum Pendidikan). UU BHP menempatkan satuan pendidikan memiliki otonomi luas, baik akademik maupun non-akademik, tanpa khawatir lagi dengan kooptasi birokrasi. UU BHP mendapat kritik tajam dari berbagai kalangan. Mereka berpendapat bahwa UU BHP hanya sebuah bentuk lepas tangan negara atas pembiayaan pendidikan nasional. Mereka khawatir dengan hadirnya UU BHP ini akan membuat lembaga pendidikan cenderung pragmatis komersil dan melupakan tugasnya sebagai sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mencetak generasi terbaik yang mampu membawa Indonesia menuju wajah baru. Dan dapat dipastikan dengan disahkannya UU BHP ini tentu akan memberikan dampak nyata bagi UGM, utamanya biaya kuliah UGM yang sudah mahal akan menjadi semakin mahal.
Eksklusivisme UGM tidak berhenti pada biaya kuliah yang mahal. Sekarang ini UGM juga tidak lagi pro-rakyat kecil. Ini terlihat dari kebijakan UGM yang menggusur PKL yang berusaha mencari hidup di kawasan UGM. Tercatat beberapa kali UGM melakukan penggusuran PKL, yang terbaru adalah upaya relokasi PKL yang biasa berjualan di Boulevard UGM kemudian dipindahkan ke Foodcourt yang berada di belakang bank BNI cabang UGM. Pihak UGM berdalih dengan relokasi ini untuk menciptakan lingkungan yang rapi dan tertata sehingga akan terwujud pembelajaran yang semakin kondusif. Namun kebijakan ini ditolak oleh PKL yang akan direlokasi dengan alasan tempat yang disediakan (di antara gelanggang mahasiswa, gedung BNI, dan Kopma UGM ) dinilai tidak memadai dan tidak strategis dari jangkauan konsumen. Dengan tempat yang tidak strategis, PKL takut terjadi penurunan omset penjualan. Untuk menolak relokasi itu, paguyuban PKL UGM melakukan beberapa aksi penolakan. Mereka membentuk aliansi PKL UGM dan sempat mendatangi kantor DPRD Sleman untuk memperjuangkan nasib. Namun sampai saat ini usaha mereka belum menemui hasil yang memuaskan; pihak UGM masih bersikukuh memaksakan kehendaknya.
Belum selesai masalah relokasi, UGM telah mengeluarkan kebijakan baru, UGM berencana untuk menyatukan kampus bagian barat dan timur dengan menutup sepenggal Jalan Kaliurang yang membelah kawasan UGM, yaitu mulai dari sebelah Balairung sampai perempatan Mirota. Ini berarti penurunan status Jalan Kaliurang dari jalan provinsi menjadi jalan kabupaten, yang diteruskan menjadi jalan lingkungan UGM. Menurut pihak UGM, penutupan ini merupakan keharusan agar tercipta suasana belajar efektif dan efisien. UGM menilai selama ini pihak UGM terlalu terbuka untuk umum dan keterbukaan ini akan mengganggu proses belajar-mengajar. Namun berbagai pihak menilai penutupan ini merupakan bentuk arogansi UGM. Semua tahu bahwa jalan tersebut merupakan kawasan padat kendaraan; tercatat 10 ribu kendaraan lewat setiap harinya. Selain itu, di sana juga terdapat berbagai fasilitas publik. Belum lagi, kawasan jalan tersebut merupakan ladang mata pencaharian puluhan PKL, bukan tidak mungkin dengan penutupan ini akan terjadi penggusuran besar-besaran.
Karena itu, berbagai pihak menolak upaya penutupan ini. Mereka tergabung dalam Jajal (Jaringan Kaliurang Lestari) yang terdiri dari pihak Persatuan Pedagang Kaki Lima (PPKL) Sleman, Uplink Yogyakarta, Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) UGM, Walhi Yogyakarta, kelompok anak jalanan Botagen, dan Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT). Mereka mendatangi komisi D DPRD DIY untuk menyalurkan aspirasi mereka. Menurut mereka, alasan penutupan Jalan Kaliurang oleh UGM terlalu mengada-ada. Di mana hati nurani UGM ketika mengusulkan rencana penutupan Jalan Kaliurang? Semakin lama UGM semakin tidak berpihak kepada rakyat.
Dan selanjutnya, kita tunggu saja kebijakan eksklusif apalagi yang akan dikeluarkan UGM. Pertanyaannya sekarang, masih pantaskah jargon UGM sebagai kampus kerakyatan dipertahankan? Hendaknya UGM mengingat kembali sejarah jas almamaternya, bahwa sesungguhnya UGM adalah universitas untuk rakyat dan sebisa mungkin berpihak kepada rakyat.
Oleh: Fauzul Muna (Isipol 2008)
Posting Komentar