Polemik RUU Pemilukada yang menjadi isu populer akhir-akhir ini mengindikasikan bahwa demokrasi sedang dipertaruhkan. Demokrasi yang secara sederhana, diartikan sebagai pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat, kemudian bertransformasi menjadi DPRD-oriented. lantas, bagaimanakan demokrasi seharusnya dipraktikkan?
Demokrasi lahir bersamaan dengan munculnya sistem polis (negara-kota) di Yunani Kuno, beberapa abad SM silam. Diceritakan bahwa pada masa itu, setiap warga negara terlibat dalam setiap pembuatan keputusan yang menyangkut kehidupan mereka. Setiap warga negara pada saat bersamaan mengetahui berbagai agenda kebijakan yang menentukan hidup mereka. Dalam hal ini, demokrasi yang dimaksud adalah demokrasi langsung. Setiap warga negara dapat secara langsung berhubungan dengan pelbagai keputusan politik yang melibatkan dirinya.
Barangkali telah menjadi tema usang ketika mengembalikan wacana demokrasi dengan narasi Yunani Kuno dengan Polis-nya. Hal ini tentu saja tidak mengherankan ketika demokrasi dapat diterapkan di wilayah polis tersebut. Wilayah yang sempit dan jumlah penduduk yang sedikit menjadi pertimbangan yang rasional ketika pemerintahan disepakati menggunakan model demokrasi langsung. Pertanyaan berikutnya, bagaimana dengan praktik demokrasi yang melibatkan wilayah yang luas dengan penduduk banyak seperti Indonesia?
Representasi, bukan “perwakilan”
Wilayah yang luas dengan volume penduduk yang besar menjadi tantangan bagi implementasi demokrasi dalam aras pemerintahan. Demokrasi tidak langsung menjadi model yang kemudian menjadi rekomendasi rasional dalam praktiknya. Hal ini dianggap rasional, karena tentu saja, mempertimbangkan biaya (cost) dan keuntungan (benefit) yang diperolehnya. Untuk itulah, dibentuk lembaga representasi yang diharapkan menjadi “penyambung lidah”, meminjam kata-kata Soekarno bagi aspirasi warga negara terhadap elite pengambil keputusan.
Sistem representasi menjadi pilihan logis bagi keberlangsungan model demokrasi di Indonesia. Representasi berarti menghadirkan kembali warga negara dalam ranah pembuatan keputusan. Parlemen, sebagai lembaga representasi itulah yang menjadi kunci bagi keberlangsungan demokrasi. Ekses-ekses yang mengganggu penyampaian aspirasi dari tingkat akar rumput (grassroots) sudah semestinya diselesaikan. Sistem representasi membutuhkan komitmen yang tinggi kepada parlemen untuk aktif turun dalam rangka menampung dan menghimpun pelbagai aspirasi yang menjadi kepentingan warga negara, serta proaktif untuk selalu mengusahakan tercapainya himpunan aspirasi warga negara. Untuk itulah, parlemen yang acap disapa “wakil rakyat “ untuk sadar bahwa keberadaan mereka tidak terjadi begitu saja. Mereka hadir dikarenakan tuntutan model yang mengharuskan keberadaan mereka untuk tampil dalam lokus pembuatan dan pengambilan keputusan (decision-making and taking).
Untuk itulah, perlu digarisbawahi bahwa parlemen bukanlah lembaga “perwakilan”, melainkan representasi. Mengapa demikian, karena perwakilan seringkali dibatasi dalam pengertian dia yang lebih tahu tentang tetek-bengek problema sosial-kemasyarakatan daripada rakyat itu sendiri. Imbasnya, para wakil rakyat bertindak dan berpikir sesuai kehendaknya daripada harus bersusah-payah menghimpun aspirasi di masyarakat yang bukan kepalang banyaknya. Representasi harus menjadi pedoman dalam membicarakan peran parlemen, dalam hal ini DPR dan DPRD. Kita perlu mengingat bahwa representasi berarti pemberian kewenangan simbolik warga negara terhadap orang-orang tertentu dalam rangka efisiensi dan efektivitas pengambilan dan pembuatan keputusan, bukan penyerahan kewenangan warga negara terhadap orang-orang tertentu secara tetap, sehingga abai terhadap tanggung jawabnya terhadap warga negara.
Di tengah ramai bincang-bincang tentang wacana pilkada oleh DPRD, kita perlu mengingat bahwa DPRD atau parlemen bukanlah lembaga mutlak penjaga demokrasi. Menyerahkan pemilu terhadap DPRD bukan menjadi parameter seberapa demokratis suatu negara. Perlu diingat bahwa DPRD hanyalah lembaga penyambung aspirasi ditengah ketidakmungkinan rakyat dalam membuat keputusan secara langsung. Untuk itulah, perdebatan pilkada semestinya tidak diarahkan terhadap efisiensi biaya pemilu dan reduksi politik uang, melainkan diarahkan pada naik turunnya intensitas partisipasi warga negara dalam pemerintahan. Sebagai lembaga representasi, parlemen (DPR/DPRD) harus menjadi pemandu dalam usaha meningkatkan partisipasi politik warga negara dan bertindak ketika warga negara sama sekali tidak mampu untuk terlibat secara penuh. Tindakan parlemen yang dinilai tengah melakukan reduksi terhadap partisipasi warga negara dalam pemerintahan berarti telah menghancurkan jiwa demokrasi secara substansial dan massif.
- Andi Triswoyo (Hubungan Internasional 2012)
Posting Komentar