Oleh: Sayfa Auliya Achidsti (Adminstrasi Negara 2007)
Dalam rubrik diskursus buletin dialektika edisi 8
Indonesia, negara kepulauan nan subur dan elok ini rupanya telah menjadi perhatian dunia sejak lama. Dari sisi ini, terbukti, beberapa negara dari Eropa pernah berebut untuk menginvasi dan menjajah negeri ini. Kekayaan alamnya menjadi aset penting yang bernilai ekonomi tinggi. Wilayah dengan banyak pulau ini pun mempunyai daya tarik tersendiri dari sisi budaya. Suku-suku yang teramat beragam disatukan dalam kesatuan bangsa dan membentuk sebuah negara bangsa.
Yang cukup menarik di sini adalah bagaimana wilayah yang terpisah oleh laut, yang mengisolasi penduduknya sehingga menimbulkan budaya-budaya tersendiri, dapat menyatu baik secara administratif mapun psikologis. Hal yang amat mengagumkan, mengingat hal ini berbeda sekali dengan proses terbentuknya negara lain pada umumnya.
Sebuah negara, pada umumnya terbentuk berdasarkan pada beberapa hal esensial. Yang pertama adalah kesamaan budaya. Hal ini jelas, karena tanpa adanya kesamaan budaya, suatu konsensus untuk membentuk sebuah negara akan mustahil, atau paling tidak akan sangat sulit mencapainya. Dalam hal ini, terdapat beberapa aspek yang sangat berpengaruh, seperti komunikasi antar masyarakat atau kelompok, perbenturan adat dan ideologi, sentimen dan simpati, dan yang pada akhirnya menyentuh pada aspek kepentingan antar-masyarakat atau kelompok tersebut.
Berikutnya, yang dapat mendorong terbentuknya sebuah negara adalah faktor luar , misalnya tekanan pihak luar atau penjajahan bangsa lain. Hal ini pada perkembangannya akan mempengaruhi kerjasama antar kelompok dan tentunya sedikit banyak akan mengikis kerasnya tembok adat dan budaya yang membatasinya. Kasus seperti inilah yang terjadi di Indonesia yang telah melewati masa-masa kolonial beratus tahun.
Penjajahan oleh bangsa lain tersebut berimplikasi pada kesamaan sisi psikologis masyarakatnya, sebagai kaum terjajah. Berbagai gerakan perlawanan sporadis pun berkembang menjadi semangat bersama untuk mengusir musuh bangsa, yaitu penjajah.
Puncak perlawanan bangsa di Nusantara terjadi menyusul kekalahan Jepang atas tentara sekutu, dengan dijatuhkannya bom atom di dua kota negara tersebut. Kaum muda pun mendesak untuk segera mendeklarasikan kemerdekaan. Sehingga pada 17 Agustus 1945, Soekarno mengumandangkan proklamasi kemerdekaan dan sekaligus menjadi dasar semangat yang satu yaitu semangat berbangsa Indonesia.  
Perjalanan Sistem di Indonesia
Proklamasi kemerdekaan yang telah berkumandang tersebut seakan menjadi bahan bakar tambahan yang efektif untuk mengusir sisa-sisa penjajahan di wilayah Indonesia. Berbagai perebutan gedung dan penaklukan tentara musuh gencar dilakukan. Pada saat itu, semua orang mempunyai satu tujuan, yaitu pembentukan Indonesia sebagai negara yang benar-benar merdeka.
Setelah pendeklarasian proklamasi, dan Indonesia berdiri menjadi satu negara merdeka, dimulailah jalannya pemerintahan. Layaknya negara berdaulat lainnya, Indonesia pun menjalankan laju pemerintahan dengan sistem dan model tertentu. Demokrasi adalah model yang cenderung digunakan di negara ini.
Namun ternyata model tersebut pun mengalami apa yang dinamakan perkembangan dan “aktualisasi”. Sejarah model pemerintahan di Indonesia secara kronologis dapat dibagi dalam tiga masa, yaitu masa Republik Indonesia I, II, dan III. Masa pertama disebut sebagai Demokrasi Parlementer. Di masa ini parlemen dan peran partai sangat menonjol. Perjalanan sistem Demokrasi Parlementer (1945-1959), yang menghasilkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1950 ini, ternyata kurang cocok dengan keadaan politik di Indonesia. Partai politik yang terlalu mendominasi dalam parlemen pun membuat kinerja pemerintahan tidak berjalan dengan baik. Dalam mekanisme Pemilihan Umum (Pemilu) pada masa ini pun terjadi banyak konflik dan ketidakharmonisan antar-tingkatan pemerintah. Hal-hal itulah yang mendorong inisiatif Soekarno sebagai presiden untuk mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli, yang mencetuskan berlakunya kembali UUD 1945, dan mengakhiri sistem parlementer.
Masa kedua adalah masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dengan Soekarno sebagai poros dalam setiap bidang. Masa kepemimpinan inilah yang disebut-sebut sebagai masa kepemimpinan yang menyimpang. Soekarno, yang menjadi presiden saat itu, terkesan ingin mempertahankan kedudukannya sebagai orang nomor satu di Indonesia. Pada masa ini dominasi presiden dan hegemoni ABRI menjadi cirinya. Bahkan melalui Ketetapan MPRS No. III/1963, pembatasan jabatan presiden selama lima tahun pun dihapuskan. Dan peran ABRI menjadi semakin luas dalam kehidupan sosial-politik bahkan ekonomi.
Yang terakhir adalah masa Demokrasi Pancasila. Sistem ini merujuk pada Pancasila sebagai dasar negaranya. Pencetusan sistem Demokrasi Pancasila ini tak lepas juga dari peristiwa G30S/PKI, yang menelurkan Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) dan sekaligus memulai babak baru pemerintahan Indonesia dengan naiknya Soeharto sebagai presiden. Sistem dengan nama Demokrasi Pancasila ini ternyata pada masa awal pelaksanakannya mempunyai kecenderungan yang mengarah pada otoritarianisme, tidak jauh berbeda dengan rezim sebelumnya. Pancasila bergeser nilainya dan dipakai sebagai alat legitimasi serta represi pemerintah kepada rakyatnya, angkatan bersenjata kembali menunjukkan kedigdayaannya. Pembatasan dilakukan pada semua bidang, termasuk dalam kebebasan berpolitik. Bahkan kebijakan reduksi partai politik (parpol) pun mulus dengan argumen demi kestabilan politik dan demi bangsa. Fusi yang dilakukan memutuskan terbentuknya tiga parpol: Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang berbasis agama, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang berbasis nasionalis, dan Golongan Karya (Golkar) dengan para aparat dan pegawai pemerintahnya. Inilah partai-partai politik yang menjadi opsi bagi rakyat pada saat itu, dengan Golkar yang selalu menjadi juara bertahan sampai saat berakhirnya nanti.
Titik puncak kekecewaan terhadap pemerintah meledak pada 1998. Keadaan chaotic terjadi dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat. Demokrasi Pancasila ala Orde Baru (Orba) itupun runtuh melalui proses reformasi revolutif. Kriminalitas dan kekacauan kala itu bahkan diperkirakan mencapai trilyunan rupiah. Tujuan penggulingan kekuasaan Soeharto berbaur dengan banyaknya pemerkosaan, kekerasan, pencurian, dan tindakan anarkis. Soeharto turun dan mulai saat itu dimulailah reformasi. Segala sesuatu yang berbau Orba seakan menjadi sangat sensitif dan wajib sesegera mungkin dihilangkan. Demokrasi Pancasila sebagai sistem pemerintahan tetap dipertahankan secara istilah, namun pelaksanaannya amat berubah. 
Demokrasi dan Nilai
Tersebutlah demokrasi, sebuah sistem politik dan pemerintahan yang muncul sebagai respons atas semangat kesederajatan dan kebebasan yang keduanya berada dalam ranah partisipasi rakyat. “Government of people, by the people, for the people” yang menjadi acuan norma kehidupan bernegara tersebut seakan telah menjadi titik “konsensus” internasional. Terlepas dari beberapa perdebatan mengenai kecocokan ideologinya, mayoritas negara di dunia sepakat bahwa nilai dalam sistem demokrasi adalah yang paling relevan dengan perkembangan kehidupan masyarakat saat ini.
Tumbangnya pemerintahan Orba, kondisi bebas berpolitik dan berserikat sontak menimbulkan munculnya banyak parpol dengan jumlah mencapai 48 partai pada Pemilihan Umum (Pemilu) 1999. Hal ini memperlihatkan bagaimana memuncaknya hasrat berpolitik masyarakat Indonesia yang telah terpendam semasa Orba. Seakan euphoria, siapapun bisa membentuk sebuah partai sejak saat itu.
Akan tetapi yang menjadi pertanyaan adalah, apakah pada Pemilu 2004 dengan 24 partai dan Pemilu 2009 ini dengan 38 partai dan 6 partai lokalnya itu masih akan dimaklumi sebagai sebuah euphoria? Atau justru keadaan seperti inilah yang menunjukkan keberhasilan demokrasi pada suatu negara?
Konsep demokrasi sendiri sebenarnya telah berkembang dalam tataran nilai, bukan hanya sebatas bentuk fisik dari sebuah sistem politik dan pemerintahan. Secara fisik (konstitusional), demokrasi adalah suatu ide mengenai bentuk pemerintahan yang tidak sewenang-wenang, dengan diakuinya kebebasan, penjaminan hak masyarakat termasuk dalam berserikat dan lain-lain, serta hukum netral yang berlaku. Untuk perwujudannya, konsep seperti itu akan dengan sangat mudah diterapkan di manapun. Namun demokrasi mempunyai makna yang lebih substansial, yaitu dalam kandungan nilai demokrasi itu sendiri.
Banyaknya jumlah parpol di Indonesia pada beberapa periode ini sebenarnya sudah merupakan keberhasilan tersendiri bagi perwujudan konsep demokrasi dalam sistem pemerintahan. Jumlah partai pun dapat dipahami sebagai diakuinya hak berpolitik dan berserikat bagi masyarakatnya.
Namun sejumlah partai tersebut pada perkembangannya telah gagal menjalankan fungsi aspiratifnya, yang merupakan tugas utama sebuah partai. Partai hanya menjadi sarana mobilisasi suara dalam Pemilu. Bahkan tidak terhitung pula kasus politik uang dan penyimpangan lain dalam pesta demokrasi tersebut yang telah terjadi.
Komunikasi yang dilakukan partai politik pun hanya sebatas komunikasi politis lima-tahunan menjelang Pemilu tanpa diimbangi dengan penjaminan kepentingan masyarakat. Dan kemudian pada akhirnya berujung pada koalisi partai pragmatis demi pencapaian dan pembagian kekuasaan dalam pemerintahan.
Suatu hal yang memalukan jika kita menganggap perkembangan budaya politik yang seperti ini sebagai cerminan dan keberhasilan demokrasi. Memang sebagian konsep demokrasi, yaitu kebebasan, dapat terwujud di sini, tapi di sisi lain, nilai demokrasi yang lebih penting telah terlewatkan, terlebih nilai demokrasi Pancasila-nya: kebebasan yang tidak melupakan sisi kemanusiaan, persatuan, dan keadilannya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
Kedewasaan budaya politik para elit masih amat minim dan masyarakat hanya dihadapkan dengan ilusi demokrasi, bukan nilai demokrasi yang sesungguhnya.

Posting Komentar

 
Top