Politik Ulama Jawa Kuno dalam Menyebarkan Agama Islam
Diskusi Rutinan Rayon Sosio-Humaniora
Di sela-sela waktu kuliah yang begitu menguras pikiran dan tenaga dari para mahasiswa, pengurus PMII Rayon Sosio-Humaniora UGM mengadakan Diskusi Rutin yang bertema “Politik Ulama Jawa Kuno dalam menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa” pada Senin sore, 2 Maret 2015 di Taman Perpustakaan Pusat UGM. Sebelumnya tema ini muncul karena ide dari pemantik, Sahabat Faukhan Al Khasani, mahasiswa jurusan Politik Pemerintahan UGM 2010 yang sedang menyelesaikan bukunya “Kebijaksanaan Ulama Jawa Kuna” dan dari sahabat Departemen Kajian yang ingin menggali lebih lanjut tentang khasanah sejarah masa lalu—khususnya—ulama Jawa. Diskusi yang sangat menarik ini diikuti oleh puluhan mahasiswa yang merupakan anggota PMII UGM juga dari kalangan non PMII.
Tema yang diangkat pada diskusi ini masih sangat relevan jika dikoherensikan dengan kondisi sosial politik agama yang ada di Indonesia. Pada masa lampau tepatnya pada zaman islam pertama kali masuk di Jawa, Ulama Kuno Jawa (red: Walisongo) memberikan sumbangsih yang sangat besar bagi penyebaran agama islam di Tanah Jawa. Hampir semua masyarakat Jawa memeluk dan mengetahui tentang agama Islam. Entah dengan berapa banyak strategi yang dijalankan oleh para ulama Jawa Kuno, namun hasilnya begitu menakjubkan.
Dalam diskusi ini, pemantik memberikan batasan tentang definisi Ulama Jawa Kuno yaitu para ahli ilmu agama Islam yang hidup beberapa generasi sebelum saat ini, bisa dikatakan mulai tahun 70 an ke bawah.—Istilah Jawa Kuno ini mungkin berbeda dengan istilah Jawa Kuno yang digunakan dalam studi sastra Jawa, sebagaimana yang dilontarkan oleh Zoetmoelder (guru besar Sastra Jawa) tentang istilah ini.—Sehingga ulama-ulama yang hidup pada masa itu bisa dicontohkan di ataranya adalah Walisongo, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Sholih Darat, Pangeran Diponegoro, dan masih banyak lagi.
Menurut Kuntowijoyo, pakar ilmu sejarah Indonesia, ulama-ulama pada masa sekarang (tidak semuanya) telah mengalami transformasi status sosial dalam masyarakat. Ulama pada zaman dahulu lebih mempunyai hubungan status sebagai patron (bapak) dan masyarakat sebagai client (anak). Kasus ini dapat dilihat pada status ulama yang masih sangat dihormati dan ditinggikan oleh masyarakat terutama di daerah pedesaan dan pesantren. Namun pada massa ini status sosial seorang ulama (modern) agak bergeser pada posisi partner (rekan kerja) terhadap masyarakat. Hal ini bisa diambil contoh pada ulama-ulama (red: ustadz) yang sering muncul di media televisi ataupun media lain yang menjamur di masyarakat perkotaan dan era modern ini. Kita bisa melihat fenomena yang terjadi pada ustadz Felix Siauw, seorang non muslim yang baru saja muallaf dan ikut mendakwahkan Islam kebetulan banyak digemari oleh anak-anak muda di lingkungan pendidikan formal. Beliau bisa dikatakan sangat akrab dengan lingkungan media sosial yang secara umum menjadi kebutuhan era modern ini. Inilah salah satu bentuk transformasi ulama yang dilontarkan oleh Prof Kuntowijoyo.
Ulama Jawa Kuno memiliki strategi yang sangat berbeda dalam menyebarkan agama Islam jika dibandingkan dengan agama-agama lainya. Sunan Kudus, salah satu walisongo, memunculkan sebuah formula dakwah islam di masyarakat Kudus yang pada masa itu mayoritasnya adalah pemeluk agama Hindu. Beliau mencoba untuk tetap menyampaikan agama Islam kepada masyarakat tanpa melukai sedikitpun budaya yang ada di sana. Sunan Kudus, sebagai seorang ulama yang alim mengamalkan prinsip dakwah Ahlussunnah Waljama’ah—yaitu berakal, baligh, syahadat berkelanjutan, ikhlas (tanpa paksaan) dan tertib—dalam mengajak masyarakat untuk memeluk islam.
Adat larangan untuk menyembelih Sapi merupakan adat yang sangat dijunjung tinggi di masyarakat Kudus. Hal ini dikarenakan merupakan salah satu warisan penyebaran agama Hindu yang ada di sana. Sunan Kudus dengan kebijaksanaan ilmunya dalam berdakwah tidak melawan secara keras terhadap adat larangan penyembelihan sapi, yang meskipun dalam agam Islam sapi adalah binatang yang memiliki tanda-tanda binatang Halal. Sunan kudus memakai prinsip ikhlas (tanpa paksaan) dalam mengislamkan masyarakat Kudus, dengan membiarkan adat tersebut tetap berlangsung hingga saat ini. Hasilnya adalah masyarakat Kudus sampai saat ini merupakan salah satu kota berbasis pondok pesantren yang ada di Jawa.
Jika dibandingkan dengan tata cara yang dilakukan oleh kaum pengikut Abdul Wahab dari Saudi Arabia, akan diperoleh perbedaan dalam hal prinsip berdakwah. Sebagaimana yang dijelaskan di atas, prinsip Ahlussunnah Wal Jama’ah (Ulama Jawa Kuno) adalah berakal, baligh, syahadat berkelanjutan, ikhlas dan tertib, akan berbeda dengan prinsip Wahabi dalam berdakwah yaitu tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan meyakini nama-nama dan sifat Allah. Di sini sudah tampak perbedaan yang jelas yaitu penekanan ikhlas dalam prinsip Ulama Jawa Kuno dengan prinsip-prinsip Wahabi yang sangat kaku dan tekstual.
Menurut Faukhan, sebagai pembicara, perbedaan yang sangat mencolok itu sebenarnya merupakan salah satu bentuk politisasi paham Wahabi terhadap paham Ahlussunnah Wal Jama’ah untuk menyukseskan kepentinganya. Keterbedaan prinsip dalam agama Islam itu akan membendung perkembangan islam Ahlussunaah Wal Jama’ah, sehingga akan membentuk sekat antara paham islam yang lain. Inilah salah satu tujuan yang tidak tampak (laten) dalam pembetukan prinsip-prinsip yang berbeda yang dilakukan oleh paham Wahabi sebagai paham islam baru yang ada di Indonesia.
Dalam diskusi ini membahas banyak hal yang berkaitan dengan politik yang dilakukan oleh para ulama Jawa Kuno dalam menyebarkan agama Islam, yaitu politik perkawinan, politik perdagangan, politik pendidikan, dan juga politik militer. Politik sendiri adalah relasi antara aktor, kepentingan, dan sumber daya. Politik dibagi menjadi 3, yaitu masyarakat sipil (sivil society), intermediary (parlementer), dan negara (pengambil kebijakan). Dalam praktiknya yang dilakukan oleh para ulama Jawa Kuno terkhusus Sunan Kudus adalah salah satu bentuk politik masyarakat sipil (civil society) yaitu dengan mendekati masyarakat agar bisa melancarkan misinya untuk menyebarkan agama Islam.
Dari uraian diskusi ini terdapat hal-hal yang penting untuk diaplikasikan dalam menngembangkan agama islam di era modern. Bentuknya adalah prinsip-prinsip yang dipakai oleh ulama Jawa Kuno dalam menyebarkan agama Islam pada massa lalu, yang bisa diambil dan dimodifikasi agar bisa menyesuaikan dengan kondisi zaman. Prinsip ikhlas yang terkandung dalam 5 prinsip ASWAJA itu merupakan bagian yang paling utama dalam mengembangkan islam, karena orang yang akan masuk islam harus dengan keinginan nya sendiri tanpa paksaan sebagaimana prinsip pokok islam yang menebarkan kebaikan untuk semesta alam (rahmatal lilamin). Kemudian juga perlu digaris bawahi mengenai dimensi sosial yang ada dalam masyarakat. Untuk masyarakat yang cenderung masih mempunyai adat istiadat yang kental, maka sebagai seorang pendakwah harus bisa mendalami tentang adat istiadat yang dilaksanakan masyarakat dan nantinya pendakwah akan bisa masuk dan menyebarkan kepentinganya sebagaimana yang dilakukan oleh para ulama Jawa Kuno.
Notulensi
Mohammad Sahlan
Posting Komentar