“Sesekali ngerjain pemerintah kan tidak apa-apa to Mbak. Wong biasanya kan kita yang dikerjain sama mereka… Kita kemarin nyoblosnya sampai dua kali..”
Sepetik percakapan dengan penjual sate Madura (08/03/09) tersebut akan menjadi sebuah prolog tulisan tentang negara dan demokrasi kali ini.
Mendengar kata demokrasi seakan mengingatkan kita pada suatu bentuk pemerintahan yang aspiratif. Tidak salah memang jika diartikan demikian, karena kata demokrasi itu sendiri berarti pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dari segi etimologi, istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu demos yang berarti rakyat dan kratia yang artinya memerintah. Sedangkan menurut para filsuf, demokrasi merupakan perpaduan antara bentuk negara dan bentuk pemerintahannya. Dalam perkembangannya kemudian dikenal adanya berbagai varian demokrasi seperti demokrasi perwakilan, demokrasi liberal (barat), demokrasi proletar (timur) dan seterusnya.
Sejenak beralih ke konsep negara, ketika negara kita konsepsikan secara sederhana, pasti akan tertuju pada tiga unsur dasar pembentuk negara yaitu wilayah, rakyat/bangsa, dan pemerintah yang berdaulat. Sebuah negara tidak akan terbentuk tanpa memenuhi ketiga unsur tersebut, terutama legitimasi dari rakyatnya, karena legitimasi dari rakyat inilah yang akhirnya membentuk sebuah pemerintahan yang berdaulat yang merupakan sumber kekuasaan tertinggi dari sebuah negara tersebut. Pandangan Hobbes mengatakan bahwa konsep kedaulatan inilah yang membedakan organisasi negara dari organisasi sosial lainnya. Negara ialah organisasi manyarakat yang mempunyai daerah tertentu, dimana kekuasaan negara berlaku sepenuhnya sebagai sebuah kedaulatan. Kedaulatan adalah jiwa dari lembaga politik yang disebut negara, yang disimbolkan sebagai makhluk yang kebal dan tak terkalahkan, yang disebut leviathan.
Keberadaan negara, seperti organisasi secara umum, adalah untuk memudahkan anggotanya (rakyat) mencapai tujuan bersama atau cita-citanya. Dalam bentuk modern negara terkait erat dengan keinginan rakyat untuk mencapai kesejahteraan bersama dengan cara-cara yang demokratis pula. Jika kedaulatan merupakan fungsi esensial yang ada pada negara maka legitimasi dari rakyat merupakan elemen dasar kedaulatan. Legitimasi rakyat dapat diperoleh salah satunya dengan menerapkan salah satu pilar demokrasi yaitu pemilu.
Memang ketika terbersit kata demokrasi pasti pikiran kita akan langsung tertuju pada sebuah event yang telah sekian lama diagungkan sebagai sebuah prosedur pencapaian demokrasi yang substantial di negara kita. Padahal masih ada pilar-pilar demokrasi lain yang tak kalah penting untuk dibahas seperti ham, pers, lembaga perwakilan dsb. Ajang pesta demokrasi yang satu ini memang sering diasumsikan dengan proses pengambilan keputusan secara bersama. Padahal ini sebenarnya hanyalah sisi demokrasai secara procedural saja. Karena, secara substantive demokrasi sendiri merupakan tujuan dan nilai bersama bagi sebuah bangsa, dimana di dalam system politik ini terdapat keseimbangan antara perbedaan pendapat/ konflik dan consensus. Walaupun begitu pemilu (demokrasi procedural) bisa dikatakan sebagai langkah awal maupun wadah bagi tercapainya demokrasi yang substantif.
Demokrasi prosedural bagi pemerintahan sebuah negara yang menganut system pemerintahan demokratis merupakan sebuah cara efektif untuk mendapatkan legitimasi rakyat secara sah. Kontrak sosial  antara negara dengan rakyatnya terbangun ketika rakyat telah menyerahkan semua kewenangannya kepada seorang yang dianggap mampu mengartikulasi kepentingannya. Ketika kontrak itu telah terjadi maka konsekuensinya adalah tanggungjawab negara berikut pemerintahannya atas kesejahteraan dan keamanan rakyat. Dan rakyat berhak untuk mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara yang tidak hanya telah memberikan legitimasinya tetapi juga telah menaati segala bentuk kewajiban dan aturan yang diterapkan oleh negara.
Akan tetapi bagaimana jika rakyat sudah dendam kepada pemerintah negara tersebut. Sebagaimana sepetik percakapan yang dikutip dari penjual sate di atas. Rakyat yang telah menyerahakan legitimasinya kepada negara merasa tidak pernah mendapatkan hak-haknya, merasa dibohongi untuk kepentingan elit-elit politiknya saja. Mungkin bukti percakapan diatas bukanlah suatu hal yang layak untuk dikhawatirkan. Akan tetapi akan sangat baik apabila para pemimpin bangsa kita menjadikannya sebagai sirine siaga satu yang bisa mengancam eksistensi negara kita.
Legitimasi adalah tonggak kedaulatan bagi sebuah negara. Ketika rakyat saja sudah mulai mempermainkan negara dengan menunjukkan betapa pentingnya legitimasi mereka hingga event pilkada harus diulang sampai beberapa kali akibat adanya indikasi pelanggaran-pelanggaran yang rakyat sendiri tak tahu siapa aktor di balik itu, lalu masih relevankah demokrasi diposisikan sebagai “the only game in town” yang menjadi framework bagi seluruh tata kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia? Ketika legitimasi rakyat saja menjadi hal yang sangat mahal, lalu bagaimana dengan fungsi negara sebagai penjamin kesejahteraan dan keamanan bagi rakyatnya?
Oleh: Anni Farida Inayati (Isipol 2006)

Posting Komentar

 
Top