Oleh: YasWinda Feronica (FIB ’10)
Di perguruan tinggi, mahasiswa dicetak untuk menjadi pribadi tangguh yang siap bekerja dan siap menghadapi tantangan global. Untuk itu, tidak hanya hard skill yang ditingkatkan, tiap individu juga harus mengasah soft skill. Mahasiswa menurut tugasnya di universitas, dituntut untuk mendapatkan IP tinggi sebagai bentuk pertanggung jawaban terhadap orangtua, juga digunakan sebagai syarat mengajukan beasiswa. Namun, disisi lain mahasiswa juga terus mengembangkan jiwa kepemimpinan melalui organisasi ataupun kegiatan diluar kampus.
Sudah punya nilai bagus, lantas apa? Apakah langsung hidup mewah dan nyaman? Tidak selalu. “Index Prestasi (IP) gak menjamin kesuksesan seseorang. Kehidupan semasa kuliah terlalu berharga tuk hanya dihabiskan didepan buku tebal atau cuma jadi kupu-kupu (kuliah-pulang, kuliah-pulang). Mahasiswa jenis ini cenderung unggul pada bidang akademik, tetapi tidak pintar secara interpersonal. Padahal, kecerdasan interpersonal ini sangat penting bagi kehidupan mahasiswa setelah lulus nanti. Karena setelah lulus, mahasiswa akan kembali pada masyarakat” terang Asih Minantirahayu, mahasiswa pasca sarjana selaku mantan aktivis kampus ini.
Kita mengetahui, dimasyarakat sendiri terdapat beeragam warna dan kepentingan, baik kepentingan individu maupun kepentingan kelompok. Oleh karena itu, diperlukan kecerdasan interpersonal untuk dapat menyatukan berbagai perbedaan demi mencapai tujuan bersama. Nah, sekarang kita tahu bahwa kemampuan berorganisasi dan bersosialisasi juga tidak kalah penting. Kemudian kenapa berorganisasi menjadi penting?
“ Ya dong penting. Karena dengan berorganisasi kita dapat menambah pengetahuan, bertukar pengalaman, berani menyatakan pendapat dan menghargai pendapat orang lain sehingga menambah keluesan kita dalam bergaul dan bekerja satu sama lain” terang Yulia Damayanti, Farmasi’10 ini. “ selain itu, berorganisasi berarti membuka diri kita untuk memiliki teman yang banyak dan cari koneksi” timpal Rizatun Ni’mah, Sastra Indonesia’10. Dua pendapat ini pun mendapat dukungan dari Tika Pertiwi, Hukum’10. “ dengan berorganisasi juga mempermudah kita melamar kerja atau mencari beasiswa. Semakin banyak kegiatan yang kita ikuti, semakin banyak hal yang dapat dicantumkan di Curriculum Vitae (CV) “.
Mahasiswa kura-kura (kuliah-rapat, kuliah-rapat) seperti ini kecerdasan interpersonalnya terasah karena terbiasa bersosialisasi atau berhubungan dengan orang lain. Namun, bagaimana jika melatih diri berorganisasi melalui pergerakan mahasiswa?
“Sah-sah saja. Karena mahasiswa juga selalu menjadi bagian dari perjalanan sebuah bangsa. Bukankah mahasiswa merupakan kaum intelektual muda yang dianggap sebagai perwakilan rakyat dan tidak bersifat pragmatisme sehingga dapat disebut sebagai kaum netral yang membela kepentingan rakyat. Justru dengan ikut pergerakan mahasiswa, kita dapat mengetahui secara jelas realita sosial yang terjadi di masyarakat” terang Mandira Bienna Elmir, Hukum’10. Roda sejarah demokrasi selalu menyertakan mahasiswa sebagai pelopor, penggerak, dan konstruktif selalu lahir dari pola pikir mahasisswa. Namun, pernyataan ini berbanding terbalik dengan Mahayu Firsty Ramadhani, Gizi Kesehatan’10. “Tergantung seperti apa pergerakan tersebut. Apabila pergerakan cenderung radikal dan anarkis saya tidak setuju. Kalo menurut saya, yang benar itu berorganisasi seperti organisasi biasanya dengan visi mahasiswa sebagai agen perubahan positif”. Diantara Mandira dan Mahayu ternyata ada beberapa mahasiswa lain yang lebih memilih “tidak tahu” seperti yang diungkapkan Beta Mustauda Amalah,Sastra Indonesia’10. “Tidak tahu, karena biasanya pergerakan mahasiswa lebih cenderung malaksanakan suatu misi, tidak mementingkan bagaimana pergerakan itu bisa dijalankan” tegasnya.
Komentar:
Wiwit Endri N , SasIndo’10 : “setuju aja berorganisasi melalui pergerakan mahasiswa. Karena mahasiswa adalah orang-orang yang memiliki ideologi yang tinggi. Sehingga jika ikut organisasi dapat melatih berfikir kritis, tanggungjawab, dan PD berbicara di depan orang banyak”.
Pandu , F. Kehutanan’10 : “tidak setuju, soalnya untuk melatih diri berorganisasi, pergerakan mahasiswa belum cukup karena memiliki kecenderungan untuk pembentukan karakter organisasi ruangan sedangkan untuk karakter lapangannya masih kurang”.
Fajar Widjanarko, SasNus’10 : “tidak tahu. Semua dikembalikan kepada personal mahasiswanya dan pergerakan mahasiswa yang bagaimana dulu, tidak semata-mata setiap mahasiswa dapat berlatih berorganisasi melalui pergerakan mahasiswa”.
“Bagaimana jika melatih diri berorganisasi malalui pergerakan mahasiswa?”
Posting Komentar