Oleh: Rika Susanti (Psikologi 2008)
Ditulis dalam rubrik isu buletin dialektika edisi 8
Sebelas tahun sudah Indonesia meniti sejarah berlabel “reformasi”. Terhitung mulai lengsernya rezim orde baru, yang ditandai dengan “pengunduran diri” Soeharto sebagai presiden RI pada 21 Mei 1998, bangsa ini mencoba merombak keadan melalui sebuah kata, “perubahan”. Tak ada tujuan lain dari perubahan itu kecuali untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Di sini, penulis akan mengajak pembaca untuk bersama-sama mengkritisi perubahan yang telah dilakukan pemerintah selama era reformasi, sehingga kita semua bisa melihat ke arah mana perubahan itu berjalan.
George Santaya seorang filsuf Spanyol mengatakan bahwa barang siapa gagal mengambil pelajaran dari sejarah dipastikan akan mengulangi pengalaman sejarah itu. Jika mau merenung sejenak, kalimat inspiratif di atas pasti bisa menjadi cambuk bagi Bangsa Indonesia, sehingga bangsa ini bisa lebih memaknai perjuangan dalam sebuah sejarah. Untuk itulah, penting kiranya kita semua menilik kembali sejarah reformasi Indonesia; untuk melihat sejauh mana dan seperti apa bangsa ini telah berjalan, berpijak pada reformasi.
Sekilas tentang sejarah reformasi 1998
Reformasi adalah suatu proses untuk mengubah prosedur birokrasi publik dan sikap serta tingkah laku birokrat untuk mencapai efektivitas birokrasi dan tujuan pembangunan nasional. Pada dasarnya, esensi dari reformasi adalah usaha untuk mencapai perubahan ke arah yang lebih baik demi tercapainya kesejahteraan rakyat. Demikian halnya dengan reformasi 1998 yang terjadi di negara ini.
Seperti yang penulis ungkapkan di atas, lahirnya reformasi di  Indonesia ditandai dengan lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan RI.  Peristiwa ini merupakan wujud suara rakyat yang disampaikan oleh mahasiswa dan ormas-ormas melalui demonstrasi secara besar-besaran pada tahun 1998. Dalam aksi-aksi ini, Rakyat Indonesia menyuarakan kekecewaan mereka terhadap pemerintahan Soeharto, terutama dalam bidang politik dan ekonomi. Pada saat itu perekonomian Indonesia dalam kondisi yang memprihatinkan. Hal ini dipicu oleh terjadinya krisis finansial Asia yang dimulai pada Juli 1997 di Thailand yang mempengaruhi nilai mata uang, bursa saham dan harga aset lainnya di beberapa negara Asia, termasuk Indonesia. Harga kebutuhan-kebutuhan pokok semakin melonjak. Rakyat miskinlah yang paling merasakan dampak dari kebijakan- kebijakan yang diambil pemerintah, sebagai contoh yaitu kebijakan yang diambil Soeharto pada 4 Mei 1998 tentang kenaikan BBM yang tertuang dalam Keppres No. 69 Tahun 1998, yang menjadikan harga BBM melonjak tajam hingga 71%. Kurs rupiah pun melonjak tajam, dengan lonjakan terbesar pada bulan Juni 1998 sebesar 14900 Rp / USD. Selanjutnya, perjalanan reformasi bangsa ini dimulai pada masa pemerintahan B.J Habibie hingga “semestinya” sampai detik ini.
Perjalanan Reformasi
Di sini, penulis tidak akan menjabarkan satu per satu bentuk-pentuk perubahan yang dilakukan pemerintah dari masing-masing periode. Sebelas tahun dengan empat kepemimpinan yang berbeda cukup membuat keadaan bangsa ini menjadi semakin kabur dan semakin sulit untuk mendefinisikan keadaan yang telah dan sedang terjadi. Namun sebenarnya, penglihatan terhadap keadaan bangsa ini akan menjadi lebih jelas jika dilihat dari satu kaca mata: kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan rakyat inilah yang mestinya menjadi titik ukur keberhasilan pemerintah dalam menjalankan tugasnya.
Kata “sejahtera” didefinisikan sebagai suatu kondisi masyarakat yang telah terpenuhi kebutuhan dasarnya. Kebutuhan dasar tersebut berupa kecukupan dan mutu pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, lapangan pekerjaan, dan kebutuhan dasar lainnya seperti lingkungan yang bersih, aman dan nyaman. Juga terpenuhinya hak asasi dan partisipasi serta terwujudnya masyarakat beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Merujuk pada pengertian kata sejahtera tersebut, kondisi kesejahteraan masyarakat Indonesia saat ini bisa dikatakan masih sangat memprihatinkan; masih banyak bertebaran pengangguran, masih banyak masyarakat yang tak mampu mengenyam pendidikan, dan masih banyak masyarakat yang harus tidur dijalanan ataupun di kolong jembatan. Di lain pihak, memang ada segelintir masyarakat yang karena “kegigihannya” makin mentereng di kancah dunia karena materi yang mereka punya. Ironis memang, tapi begitulah keadaanya.
Reformasi dipandang sebagai cara dan sarana perubahan. Akan tetapi, kenyataanya tidak banyak perubahan yang terjadi pada rakyat (miskin) baik sebelum reformasi ataupun saat ini, masa reformasi. Kaum marginal masih saja menjadi korban kebijakan pemerintah. Walaupun harus diakui, pemerintah (kaum birokrat) semakin pintar menyembunyikan kepentingan-kepentingan mereka dengan dalih demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Jika reformasi 1998 lahir karena kekecewaan rakyat terhadap pemerintahan yang carut marut saat itu, harga-harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi, KKN yang meraja lela, apakah kita, rakyat Indonesia harus mengulang sejarah yang sama untuk menciptakan istilah baru dari “perubahan”? Karena sampai saat ini, keadaan pun tak jauh berbeda, tak kunjung “berubah”. Namun, sebesar apapun perjuangan rakyat untuk menuntut hak-haknya, pada akhirnya akan menjadi sia-sia jika pemerintah hanya sekedar “mendengarkan”, tanpa adanya usaha untuk benar-benar merubah nasib bangsa ini dengan “menyambut” suara-suara rakyat. Bagaimana mungkin bangsa ini bisa sejahtera kalau roda pemerintahan “lupa”  berpihak pada rakyat?
Bangsa Indonesia memang bukan bangsa yang bodoh, melainkan hanya bangsa yang “pelupa”. Semangat reformasi sebelas tahun dalam sekejap terkubur dalam alam ketidaksadaran bangsa ini, terutama mereka yang mempunyai kekuasaan di negeri ini. Perubahan memang selalu dijalankan, hanya saja arah perubahan itulah yang semakin dilalaikan. Bukan hanya sejarah yang dilupakan, tapi sepertinya landasan bangsa ini juga semakin diabaikan. Para politisi lupa akan janji-janji untuk mensejahterakan rakyat. Pemerintah lupa bahwa negara dan segala isinya ini adalah milik bersama, milik seluruh rakyat Indonesia dan (mestinya) untuk rakyat Indonesia. Kepikunan pemerintah seakan menjadi hal biasa di negeri ini. Karena itulah, mereka dengan enteng menandatangani penjualan aset-aset bangsa pada negara-negara tetangga, sebut saja “Indosat” kepada Singapore atau perkebunan kelapa sawit Riau kepada Malaysia. Aset-aset ini mestinya dilindungi oleh negara, bukan dijadikan jajanan bagi negara lain. Karena aset-aset tersebut adalah kekayaan alam Indonesia yang menyangkut kepentingan rakyat, yang menurut UUD 1945 Pasal 33 harus dikuasai Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan kesejahteraan rakyat.
Untuk itulah, sebagai generasi muda, sebagai penerus bangsa, kita harus bisa meluruskan kebengkokan-kebengkokan bangsa ini, sehingga era reformasi ini benar-benar bisa diisi dengan perubahan ke arah yang lebih baik; menciptakan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan, bukan hanya kaum birokrat. Ingatlah nasihat seorang bijak, bahwa tak ada yang abadi di dunia ini kecuali perubahan itu sendiri.

Posting Komentar

 
Top