Oleh: M. Adib Zein (Wakil Ketua PMII Rayon Sosio Humaniora 2009-2010)
Judul tulisan di atas adalah bentuk keprihatinan saya terhadap realitas yang terjadi pada nasib yang dialami para petani di Indonesia. akan mudah di tebak ketika membicarakan mereka pasti akan terlihat bagaimana kondisi penghidupan mereka sehari-hari yang pastinya tidak bisa dilepaskan dari kemiskinan, keterbelakangan pendidikan dan juga permasalahan-permasalahan lain. Yang lebih memperihatinkan adalah kondisi tersebut kini sudah di anggap sebagai permasalahan klasik yang sampai sekarang belum bisa di selesaikan. Belum bisa di selesaikan bukan berarti memang masalah tersebut tidak dapat diselesaikan akan tetapi lebih disebabkan keengganan pemerintah selaku pemegang kewenangan dari masyarakat dalam menentukan kebijakan untuk berupaya sungguh-sungguh dalam memberikan solusi terhadap masalah ini. sehingga apa yang terjadi terhadap keadaan yang di tanggung mereka bukan karena alami akan tetapi lebih oleh structural ( sistem yang berlaku memang menghendaki demikian)
Sewaktu saya masih usia SD-SMP ada pernyataan berkesan dari orang tua yang sampai sekarang masih selalu teringat di benak saya. Bahwa begini, selepas membantu mereka dari sawah Bapak bilang : “ le nek iso ojo dadi wong tani, cukup aku karo ibumu seng ngelakoni penggawean koyo ngene “ (nak kalau bisa jangan jadi petani, cukup saya sama ibumu yang melakukan pekerjaan kayak gini. Cukup aneh saya rasakan waktu itu, apa sebenarnya jeleknya jadi petani. Bukankah petani adalah pekerjaan yang dilakukan orang-orang mulia (dalam ukuran saya). Tidak bayangkan bahwa jika misalnya para petani tidak mau menggarap sawahnya maka mau makan apa nanti kalau tidak dari mereka. Hal ini mungkin wajar dirasakan seorang anak waktu itu yang hanya tau bahwa dunia sekitarnya yaitu pertanian adalah sesuatu yang menyenangkan, setiap hari bergelut dengan duia tersebut serta factor lingkungan bahwa profesi tani adalah warisan yang diturunkan dari mbah buyut (leluhur) saya kemudian diturunkan ke anaknya dan di turunan lagi sampai kakek saya dan sekarang juga Bapak saya akhirnya mau tidak mau saya juga akan mewarisinya untuk menekuni profesi tersebut.
Dalam usia kedewasaan ini, saya baru memahami apa sebenarnya ma’na yang disampaikan oleh orang tua saya itu. Setelah melihat realitas yang ada saya tafsirkan bahwa beliau seperti itu bukan karena tidak menginginkan pekerjaan tersebut. Hal itu terucap lebih dikarenakan perlakuan tidak adil yang diterimanya begitu juga bila ruang lingkupnya lebih luas yaitu pada petani-petani pada umumnya. Sedangkan kondisi dimana terdapat ketidak adilan ini berlangsung terus menerus keadaannya. Yang berarti mereka merasa selalu tertindas dalam menjalankan profesinya. Sehingga kemudian jika dilihat maka pernyataan seperti yang di sampaikan Bapak saya itu adalah suatu bentuk protes tersamar dari orang-orang tani yang tidak berharap anak-anaknya jatuh dalam keadaan yang menimpa orang tua-tua mereka. Dan pada kenyataan yang saya lihat proses demikian telah mulai kelihatan adanya.
Jika keadaan yang seperti ini dibiarkan berlangsung terus-menerus maka tidak terelakan lagi di kemudian hari akan menimbulkan masalah-masalah yang lebih banyak dan tentunya bagi negaralah yang akan menanggung semua masalah ini. kenyataan sampai saat ini menunjukkan bahwa sector masih memegang peranan terpenting bagi perekonaomian bangsa kita. Dikatakan penting sebab harus di akui bahwa sebagian terbesar rakyat di Negara ini masih menggantungkan mata pencaharian hidunya dengan mengandalkan sector tersebut. Oleh karena demikian maka masih layak jika Indonesia mendapat julukan sebagai Negara agraris. Hal yang menjadi problem kemudian adalah jika para petani tersebut bosan dengan kehidupan bertaninya dan akhirnya mencari pekerjaan alternative selain pertanian maka mau tidak mau mereka harus keluar dari desanya sebab tidak mugkin lagi tinggal di tempat yang hanya menawarkan pekerjaan yang sifatnya homogeny, dan kemudian mau tidak mau mereka harus melakukan urbanisasi ke kota sebagai pelarian untuk mencapai keinginan mereka.
Bahwa sudah menjadi sifat umum bagi siapa saja yang mengharapkan hidup di kota harus punya keterampilan atau keahlian lebih, hal seperti ini jauh berbada dengan hidup di desa yang hanya ada sedikit jenis pekerjaan. Sehingga persaingan hidup diperkotaan juga sangat terasa akibatnya bagi penghuni tempat tersebut. Profesionalisme adalah harga mati bagi mereka yang hendak cari hidup di sana. Sementara itu arus urbanisasi yang terjadi besar-besaran ( bisa dilihat dalam sepuluh tahun terakhir) akan menjadi masalah dalam kehidupan perkotaan. Pada umumnya mereka yang dari desa pindah ke kota karena ingin cari kehidupan yang lebih baik karena sudah tidak mampu lagi untuk bertani pada umumnya adalah jenis orang yang tidak punya banyak keterampilan lain. Mereka hanya bermodal untung-untungan untuk bertahan. Sesampainya mereka dikota tak akan dapat segera kembali walaupun tau persaingan sebagaimana di atas, banyak alasan mungkin karena kehabisan bekal atau Karena mali pulang sebelum membawa kesuksesan ke desanya. Keputusan yang diambil akhirnya mereka hanya puas jadi kuli-kuli di pasar, tukang sapu di jalan atau pekerjaan rendahan lainnya. Itu pun bukan tanpa persaingan bahkan pekerjaan kelas rendahan seperti itu yang tidak membutuhkan keahlian lebih justeru sangat besar persaingannya.
Akibat lagi dari adanya urbanisasi yang besar-besaran adalah meningkatkan angka pengangguran dikehidupan kota. Seperti paparan di atas bahwa walaupu jenis pekerjaan kelas bawah di kota besar tetap menghendaki adanya persaingan, maka akibatnya belum tentu setiap urban dapat pekerjaan disana. Lalu kemudian dari adanya pengangguran ini akan memicu pula berbagai tindak criminal missal copet, pencurian, perampokan, maraknya tempat-tempat prostitusi juga eksploitasi anak-anak di jalanan. Tentunya masalah-masalah ini akan menjadi beban yang membutuhkan waktu lama dalam penyelesaiannya. Tindak hanya seebatas kriminalitas saja namun juga akhirnya Pemerintahan kota akan tetap bersinggungan dengan para penduduk desa yang berurbanisasi ke kota. Adanya penertiban oleh SATPOL PP, penangkapan gelandangan, penggusuran rumah-rumah liar jika di telusuri juga merupakan akibat dari arus urbanisasi tersebut. Dampak dari urbanisasi petani dari desa ke kota ini tidak hanya menjadi masalah bagi kehidupan perkotaan tapi juga terasa bagi kehidupan pedesaan asal. Utopia bahwa di kota akan banyak peluang sukses materiil akan menjadi pemicu motivasi orang berurbanisasi maka sudah pasti pekerjaan di desa akan terbengkelai serta banyak tanah-tanah pertanian yang harusnya di garap ditinggalkan akibatnya hasil produksi di desa tersebut akan berkurang. Akibat lainnya adalah masuknya gaya hidup perkotaan yang berlawanan kultur pedesaan maka akan membuat kemapanan yang telah ada menjadi amburadul sehingga desa pun semakin terkiskis kebudayaannya.
Untuk meminimalkan dampak akibat dari permasalahan ini adalah harus mengetahui keadaan riil dari pola kehidupan petani itu sendiri sehingga kebijakan akan dapat diambil dalam tahap penyelesaian masalah ini. hal mendasar yang selalu dihadapi petani adalah harga pupuk yang selalu melambung tinggi, anjlognya harga gabah dimusim panen dan tingginya harga gabah di waktu paceklik. Belum lagi masalah-masalah diluar pertanian seperti harga kebutuhan pokok, kebutuhan pelayanan kesehatan atau juga akses terhadap pendidikan. Di bawah ini akan disampaikan ilustrasi riil yang terjadi dalam pengelolaan pertanian dari keluarga penulis.
Luas tanah yang di miliki ukuran seperempat ( kurang lebih 2500 m2) dari tanah seluas ini butuh 40 kg bibit dengan harga Rp 120 ribu, pupuk yang dibutuhkan dari mulai penyemaian sampai padi di panen adalah 4 kwintal. Harganya bila di rinci ( harga pupuk yang sudah tidak bersubsidi dan sampai sekarang naik turun ) adalah jenis UREA Rp. 90 ribu perkarung, jenis TSp 85 ribu perkarung, jenis Garem 100 ribu, dan pupuk campuran jenis PONSKA 120 ribu satu karungnya. Dari penanaman butuh 5 orang yang cabut benih masing-masing di upah 20 ribu dan konsumsi untuk mereka kurang lebih 75 ribu. Untuk yang tanam benih butuh 12 orang masing2 di upah 15 ribu konsumsi untuk mereka kira-kira 150 ribu pada waktu menyiangi rumput butuh tenaga kerja 12 orang lagi upah dan kosumsinya sama dengan waktu tanam benih. Untuk penyiangan rumput tahap ke dua butuh 8 orang. Dari masa tanam ini butuh pestisida misalnya ketika terjadi penyakit daun karena serangga atau ulat ( jawa, slundep) harga obat 95 ribu, obat agar daun hijau 7 ribu dengan berkali-kali semprot. Obat belalang perbotol 15 ribu ( berkali-kali semprot), obat untuk serangga sejenis kupu-kupu kecil 17 ribu ( berkali2 semprot) dan pestisida lainnya. Pada musim panen dari tanah seluas ini membutuhkan tenaga kerja penuai padi 12 orang masing-masin pekerja sehari 40 ribu serta konsumsi bagi mereka adalah 150 ribu. Hasil yang di peroleh adalah sebesar 25kwintal sedangkan harga perkilo gabah adalah 2.200 rupiah. Dari 26 kwintal itu masih dipotong seperlima sebagai biaya pengairan.
Dari ilustrasi di atas dapat di ringkas sebagai berikut :
Kebutuhan bibit 40 kg : Rp. 120 ribu
Kebutuhan pupuk 4 kw : Rp. 790 ribu
Kebutuhan obat tanaman : Rp .150 ribu
Pencabut benih : Rp. 175 ribu
Penanam benih : Rp. 330 ribu
Penyiang rumput 1dan 2 : Rp. 400 ribu
Penuai padi : Rp. 630 ribu total : Rp. 2595 ribu
Dari semua biaya yang di keluarkan maka akan dijadikan pengurang hasil pertanian dalam hal ini padi adalah hasil total gabah-biaya pengairan = 27 kw : 0,5 = 27 kw – 5 kw 20 kg =21 kw 60 kg.
Hasil bersih padi adalah 21 kw 60 kg x Rp 2.200 = 2.160 x 2.500 = Rp 5.400.000,-
Hasil ini di kurangi dari biaya selama produksi padi adalah Rp 5.400.000 – Rp. 2.595.000 = Rp. 2.805.000,-
Jika mau kita hitung lebih lanjut bahwa hasil panen ini bisa kita lihat perharinya yaitu hasil bersih padi di bagi hari tanam selam 4 bulan Rp.2.805.000 : 120 hari = Rp 2.337,5- perhari
Sungguh angka yang mengejutkan jika kita lihat betapa sebagian besar rakyat yang menggantungkan hidupnya dari sector pertanian hanya mencukupkan diri dari penghasilan seperti itu. Maka kalau di pikir secara akal kita, tidak akan sanggup membayangkan kapan kesejahteraan petani akan terpenuhi mereka hanya mendapatkan penghasilan 20,5 ribu maksimal dalam satu hari itupun bukan penghasilan yang ajeg selalu didapat dan biasanya pada musim tanam padi kedua maka hasil yang di capai tidak akan semaksimal itu belum lagi resiko gagal panen maka tidak ada harapan lagi bagi mereka untuk memenuhi walau hanya sekedar kebutuhan pokok. Adalah jauh dari harapan mereka untuk mendapatkan akses pendidikan dengan mudah ( formal maupun informal sampai tingkat perguruan tinggi) juga untuk mendapatkan pelayanan kesehatan secara optimal belum lagi jika nanti permainan spekulasi pemborong tebas maka di sini sudah jelas posisi petani adalah harus segera di selesaikan permasalahan yang selama ini membelenggu kehidupan mereka.
Dari masalah-masalah dasar tersebut sebetulnya peranan pemerintahlah yang dapat memberikan solusi terbaik. Kebijakan yang diambil harus seefektif mungkin dengan pertimbangan sepenuhnya mengacu pada kebutuhan petani. Memang perlu di akui bahwa Negara juga tidak terlepas sama sekali dengan masalah-maslah ini hal ini bisa kita lihat dalam kebijakan-kebijakan terkait pertanian salah satu misalnya adalah UU No 5 th 1960 tentang Pokok Agraria. Namun sampai saat ini belum ada lagi tindakan yang revolusioner dalam kebijakan perundangan setelah itu. Yang menjadi muatan dalam UU ini hanyalah masalah yang menyangkut pembagian hak-hak tanah sedang mekanisme bagaimana pengelolaan sampai bagaimana hasil itu di pergunakan belum di atur. Oleh karena itu maka sekali lagi harusnya yang mengambil inisiatif dalam penyelesaian problem ini, bukan hanya memberati mereka dengan segala peraturan yang menjadi beban bagi kehidupan mereka.
Di akhir tulisan ini saya akan sampaikan kutipan dri salah satu ucapan ustadz saya yaiotu : “Bahwa pemerintah yang menjadikan rakyatnya sebagai teman terbaik maka ia akan bertindak Menurut kehendak rakyat dan pasti Pemerintahan tersebut akan sukses sedangkan pemerintah yang memusuhi rakyatnya dan ia menjadikan yang asing sebagai temannya maka bisa di pastikan reakyatlah yang akan tertindas.”
Posting Komentar