Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, nama lengkap dari Romo Mangunwijaya, seorang budayawan yang sekaligus juga dikenal sebagai seorang arsitek, penulis, rohaniwan, pendidik, dan aktivis sosial. Anak sulung dari dua belas bersaudara pasangan Yulianus Sumadi Mangunwijaya (ayahanda) dan Serafin Kamdaniyah (ibunda) ini dilahirkan pada tanggal 6 Mei 1929 di Ambarawa, Jawa Tengah . Nama “Yusuf” merupakan nama baptis beliau, dan “Bilyarta” adalah nama beliau ketika kecil, sedangkan “Mangunwijaya” sendiri diambil dari nama kakek beliau, seorang petani tembakau.
Perjalanan hidup Bilyarta kecil tidak terlalu berbeda dengan anak-anak sebayanya pada waktu itu. Sebagai seorang anak yang hidup dalam kungkungan kolonialisme, Bilyarta kecil menganggap segala bentuk diskriminasi pada saat itu bukanlah sebagai sebuah pelanggaran hak asasi. Karena memang sejak awal, beliau dilahirkan dalam sistem sosial yang telah lama menjunjung nilai-nilai tersebut. Bilyarta kecil mengawali riwayat pendidikannya di HIS Fransiscus Xaverius, Muntilan, Magelang (1936-1943). Yang kemudian dilanjutkan di STM Jetis, Yogyakarta (1943-1947).
Semakin waktu berlalu, ketika menginjak remaja, jiwa nasionalisme pemuda Mangun pun mulai  tumbuh. Hal itu ditunjukkan  dengan turut bergabungnya beliau dalam Batalyon X Kompi Zeni, yang pada waktu itu dipimpin oleh Mayor Soeharto. “Waktu itu memang tidak ada pemuda yang punya harga diri tanpa ikut berjuang. Hampir semua pemuda terlibat dalam perang sebagai tentara”, kenangnya. Tidak lama setelah perang usai, beliau pun hijrah ke Malang untuk melanjutkan pendidikannya di SMU-B Santo Albertus, Malang (1948-1951). Akan tetapi sekali lagi, rasa nasionalisme yang begitu tinggi memaksa beliau untuk turut bergabung dalam barisan Tentara Pelajar Republik Indonesia (TPRI). Dan di sinilah kemudian terjadi sebuah momen yang bisa dikatakan menjadi titik balik dari kehidupan beliau di masa mendatang; yaitu ketika Mayor Isman (Pemimpin TPRI) menyampaikan pidatonya. Sebuah pidato yang benar-benar mengguncangkan hati dan pikiran Pemuda Mangun, yang kemudian membantu beliau untuk menemukan falsafah hidupnya. Sebagai seorang yang sudah digariskan akan menjadi bagian dari golongan cendekiawan, beliau meyakini bahwa kegiatan pendidikan cendekiawan merupakan “upaya membayar hutang kepada rakyat”. Dari sinilah pemuda Mangun menentukan sikap hidupnya untuk menjadi pengabdi kemanusiaan. Sebuah kemanusiaan dalam proses gerakan dari tingkat imanensi menuju tingkat transendensi. Dan kemudian pilihan karirpun dijatuhkan. Beliau ingin menghabiskan masa hidupnya “untuk membayar hutangnya kepada rakyat” dengan menjadi rohaniwan, untuk menjaga dan memelihara cara pandang yang benar tentang setiap manusia sebagai “roh yang membadan atau sebagai badan yang meroh”. Sebuah pilihan jalan hidup yang berorientasi pada tanggung jawab dirinya sebagai makhluk sosial. Berdasar pada hal tersebut beliau kemudian memutuskan untuk menempuh pendidikan Seminari Menengah Kotabaru, Yogyakarta (1951), Seminari Menengah Santo Petrus Kanisius, Mertoyudan, Magelang (1952), dan Filsafat Teologi Sancti Pauli, Kotabaru, Yogyakarta (1953-1959)
Dalam proses pemilihan peran sosial untuk mewujudkan tanggung jawab sosial sebagai misi kehidupan pribadinya, pidato Sutan Sjahrir pada tanggal 17 Agustus 1946 yang menggambarkan kegelisahannya mengenai peran sosial yang dimainkan oleh golongan elite dan golongan cendekiawan Indonesia, telah menjadi salah satu sumber motivasi pemuda Mangun untuk menjadi seorang rohaniwan yang sekaligus seorang cendekiawan. Atas dasar inilah kemudian pemuda Mangun memutuskan untuk masuk ke dalam jalur pendidikan tinggi formal, yang diawalinya dengan menjadi bagian dari jurusan Teknik Arsitektur, ITB, Bandung (1959), lalu Rheinisch Westfaelische Technische Hochschule, Aachen, Jerman (1960-1966), dan terakhir di Fellow Aspen Institute for Humanistic Studies, Colorado, AS (1978).
Hasil studi selama bertahun-tahun telah mambentuk diri Romo Mangun menjadi manusia berkarakter kuat (hasil pembinaan pendidikan spiritualitas seorang rohaniwan Katolik), yang memiliki sarana-sarana teoritis humaniora (hasil pendidikan humaniora dalam lembaga pendidikan imam Katolik) dan sarana-sarana teoritis dalam bidang arsitektur (perpaduan seni, teknologi konstruksi dan desain). Dengan bekal tersebut beliau kemudian menjadikan pendidikan kerakyatan –dalam arti luas kegiatan bimbingan kehidupan spiritual- sebagai rumusan kongkret peran sosial yang akan beliau mainkan. Karena bagi Romo Mangun, pendidikan merupakan emansipasi yang akan menghantar manusia keluar dari belenggu keyakinan, sikap, nilai-nilai yang serba tertutup-intoleran, ke arah pemilikan keyakinan, sikap, dan nilai yang lebih terbuka-toleran yang eksploratif, kreatif, dan yang berintegrasi baik ke dalam pada dirinya sendiri atau ke luar mengarah pada lingkungan dan sesamanya yang majemuk. Prinsip ini berlaku pada semua jenis, bentuk, jenjang pendidikan di sekolah, di rumah, di masjid, di gereja, di warung kopi, di sidang kabinet, pendek kata di mana dan kapan saja manusia bertemu dengan sesamanya.
Dalam menjalankan peran sosialnya tersebut Romo Mangun memiliki kepedulian yang mendalam terhadap kaum muda dan anak-anak, khususnya dalam ranah pendidikan mereka. Bagi beliau pendidikan generasi muda, terlebih pendidikan dasar, mempunyai arti yang sangat penting. Oleh karenanya beliau lebih memilih menjadi seorang guru sekolah dasar – dengan mendirikan sebuah lembaga riset pendidikan yang dikenal dengan laboratorium Dinamika Edukasi Dasar (DED) pada awal tahun delapan puluhan dan melakukan eksperimentasi pendidikan yang dikenal dengan Proyek Pendidikan Dasar Eksperimental Mangunan menjelang diberlakukannya wajib belajar sembilan tahun (1994)- meskipun pada waktu itu terbuka lebar kesempatan beliau untuk menjadi seorang politikus, birokrat atau pejabat kenegaraan. Bahkan dalam tesisnya mengenai Romo Mangun, Catherine Mills (mahasiswa Curtin University Australia) mengutip ucapan beliau “When I die, let me die as a primary school teacher (kalau saya meninggal, biarkan saya meninggal sebagai guru sekolah dasar)”.
Ketertarikan beliau akan lingkup kerja guru sekolah dasar bukan pada sistem gaji atau administrasi sekolah, akan tetapi lebih karena menurut beliau, guru sekolah dasar sehari-hari akan bertemu muka dengan satu kelompok manusia Indonesia masa depan. Manusia-manusia tunas yang masih segar, penuh idealisme, belum vested, masih murni dan belum menghamburkan diri untuk berlatah. Di kalangan manusia tunas baru tersebut akan ditemukan perintisan dasar pengembangan golongan spesialis (ahli ekonomi perusahaan, ahli ekonomi pembangunan, expert, teknokrat, dsb.), yang dibutuhkan sekali dalam sektor industri modern, dan golongan generalis (golongan intelektual, filsuf, pendidik di luar bidang ekonomi seperti profil Karl Marx untuk ekonomi sosial, Mahatma Gandhi untuk hukum, Einstein untuk matamatika, dsb.), yang merupakan golongan arifin-arifat berkemampuan memisah-uraikan sambil mengendapkan pengetahuannya dalam batin demi suatu sintesa dan kearifan sikap. Guru sekolah dasar setiap hari berpeluang menabur benih-benih pembaruan dan perubahan (soft revolution) berupa jiwa yang tidak berpola ndoro-kawulo (feodal), tapi jiwa manusia Indonesia baru yang bercorak solider modern dengan penghayatan peka akan kesatuan keluarga manusia dan alam semesta.
Dalam artikelnya yang berjudul “Seandainya Saya Gubernur Jenderal Hindia Belanda” (Kompas,13/02/1992), Romo Mangun mengatakan “ Perguruan tinggi boleh bobrok, boleh ambrol, tetapi sekolah dasar jangan!”. Hal ini bukan berarti beliau tidak peduli dengan pendidikan tinggi, akan tetapi karena beliau sadar betul bahwa impian untuk memiliki generasi potensial yang bersemangat “mambayar hutang kepada rakyat kecil“ tidak akan terwujud secara optimal bila semangat-semangat perubahan sosial jangka panjang tidak mulai ditaburkan sejak di sekolah-sekolah dasar. Beliau percaya bahwa pendidikan dasar sangat fundamental sebagai pembentuk hidup seorang anak yang akan menjadi bagian dari sebuah masyarakat. Bahkan keberlangsungan ataupun kehancuran sebuah bangsa ditentukan di dalamnya.
Akan tetapi sekalipun beliau berpandangan positif-optimistis terhadap kaum muda, dari beberapa generasi muda yang sempat teramati dan teralami oleh Romo Mangun, tampaknya beliau prihatin terhadap kondisi anak-anak muda sekarang ini. Jika dibandingkan dengan generasi muda angkatan 1928-1945, generasi muda sekarang, menurut beliau, telah kehilangan spontanitas, keberanian, inisiatif, dan kecerdasan. Pada dasarnya, menurut beliau, kesalahan bukan terletak pada anak muda semata, tetapi juga pada sistem pengajaran yang kurang tepat. Sebagaimana yang dikutip dalam perkataan beliau, “Setiap hari selama puluhan tahun sistem pengajaran dan pendidikan dasar (pada jenjang yang lebih tinggi juga) pada hakikatnya menganiaya anak karena melawan kodrat anak, mencukil mata hati atau tangan kaki daya eksplorasi dan kreatifitas anak”. Beliau menganggap sistem pendidikan di Indonesia yang didasarkan pada kurikulum nasional hanya akan menghasilkan output generasi muda yang kaku layaknya robot. Karena orientasi sistem tersebut hanya ditujukan  pada hasil semata, bukan pada proses dari pendidikan itu sendiri. Hal ini bertentangan dengan nilai bahwa kehidupan manusia, sejak lahir sampai ajal menjemput, merupakan lahan pembelajaran bagi manusia itu sendiri. Dangan kata lain, hidup manusia secara keseluruhan pada dasarnya merupakan sebuah proses belajar tanpa henti; “ Uthlubu al-‘Ilma min al-Mahdi ila al-Lahdi ”. Tuntutlah ilmu sejak dari kandungan hingga menuju liang lahat. Demikian sabda Rasulullah SAW.
Nilai-nilai seperti inilah yang sebenarnya ingin ditanamkan oleh Romo Mangun ke dalam jiwa setiap generasi muda Indonesia, yang dipercaya akan menjadi agen-agen revolusi  pembawa perubahan bangsa ini menuju arah yang lebih baik. Sekalipun sudah hampir sepuluh tahun Romo Mangun berpulang, beliau akan tetap hidup di hati setiap generasi muda yang senantiasa menanamkan nilai-nilai warisan beliau. Alangkah cerahnya masa depan negara ini ketika suatu hari nanti manusia-manusia Indonesia yang selama ini diimpikan dan diperjuangkan oleh Romo Mangun mengambil bagian dalam setiap sendi-sendi kehidupan bangsa ini. Karenanya, sudah menjadi tanggungjawab kita semua sebagai anak didik untuk maneruskan perjuangan beliau mendidik manusia-manusia merdeka bangsa ini, yang selalu menetapkan dan memantapkan orientasi “untuk membayar hutang kepada rakyat”.

Oleh: Zaka Fuat (Ilmu Budaya 2007)

Posting Komentar

 
Top