Memperdebatkan Rahmatan lil’alamin-nya Islam
Sumber gambar: http://attaqwapik.com/
Semboyan islam sebagai agama rahmatan lil’alamin (rahmat seluruh alam) menemui ujian beratnya di era kontemporer. Era kontemporer dimana berbagai paham sekuler, mulai dari kapitalisme sampai sosialisme merebak sedikit banyak menggugat citra islam sebagai agama dua dimensi (dunia dan akhirat). Terlebih lagi, islam dihadapkan pada tantangan “ zaman akhir “ yang dijejali berbagai aliran teologis (kalo bukan disebut agama) seperti Syiah, Kristen Ortodoks Syiria (KOS) dan komplotannya, sehingga interpretasi sebagai rahmat seluruh alam harus secara saksama dikelola agar tidak terjerumus pada sekularitas agama, tetapi tetap terjadi aktualitas sebagai kredo utama umat manusia.
Sebagaimana paham-paham teologis yang bersemai subur pada era abad 21, islam pun tak lepas dari jerat distorsi seputar pemaknaan keyakinan dan implementasi dogma agama. Agaknya ini bukan sesuatu yang mengherankan, bahkan tokoh religious sekaliber Nabi Muhammad SAW sudah meramalkan beberapa abad silam terkait “ memecahnya “ umat islam kedalam 73 golongan. Menanggapi realitas yang tampaknya sudah diprediksi jauh-jauh hari, timbul sebuah pertanyaan. Lantas, bagaimana islam sebagai rahmatan lil’alamin harus menempatkan dirinya ditengah-tengah pluralitas kosmopolitan. Haruskah islam dibawa kedalam sebuah gerakan puritanisme ? ataukah lebih baik jika islam harus disejajarkan dengan agama dan aliran teologis lain tanpa mengabaikan agama islam sebagai ajaran paling sempurna dan dirahmati Tuhan bagi umat-Nya.
Bagi umat islam sendiri, ada dua aliran atau perspektif bagaimana islam harus diposisikan menghadapi dunia yang serba cepat, instan dan menyatu ini. Pertama, mereka yang beranggapan bahwa islam harus dimurnikan ajarannya (kembali ke ajaran Rasul pada zamannya) yang termanifestasi dalam berbagai organisasi politik, seperti HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Ajaran ini dikenal dengan salaf (kembali ke masa lalu). Ajaran ini sangat menekankan pada praktek islam Arab, sehingga arabisasi seringkali lebih menonjol daripada islam itu sendiri. Kedua, mereka yang beranggapan bahwa islam harus disesuaikan dengan kondisi zaman sekarang. Dengan kata lain, aktualisasi ajaran islam merupakan sebuah keharusan mutlak bagi mereka yang berusaha eksis dalam zaman ini. Ajaran yang dikenal sangat plural dan bahkan terkesan liberal memunculkan premis bahwa mereka sebenarnya bukan orang islam yang hidup di zaman modern, akan tetapi kaum modern yang beridentitas islam. Tak ayal, jika kedua kelompok ini saling menuding dan menganggap tindakan mereka lebih benar. Tendensi untuk saling mencemooh juga kerap kali hadir di berbagai wacana hingga menyisakan trauma skeptik ketika harus memperbincangkan islam di ruang publik. Lantas, kemana islam akan membawa rahmatan lil’alamin-nya.
Saya memahami bahwa setiap manusia tidak bisa netral. Kaki-kaki manusia tidak bisa menjangkau kedua kutub pemikiran yang teramat kontras. Memahami bahwa paradoks tersebut tak bisa didamaikan, akhirnya, saya lebih memilih pilihan kedua, bukan karena saya tergabung dalam gerakan-gerakan islam sekuler, seperti JIL (Jaringan Islam Liberal) atau semacamnya. Namun, hal yang menjadi lebih argumentatif, antara lain (1). Tuhan telah menggariskan takdir-Nya bahwasanya perbedaan itu niscaya, pluralitas itu memang ada dalam realitasnya, dan perpecahan itu kronik historis yang mesti diterima. Dengan demikian, sebuah gerakan yang berusaha memurnikan islam tidak serta-merta dapat dianggap sebagai jawaban untuk melaksanakan ajaran islam secara total,komprehensif dan konsekuen. Namun lebih disebabkan oleh nalar individual yang semakin tertekan, baik secara spiritual dan finansial ketika disejajarkan dengan berbagai paham sekuler di zaman modern. Fundamentalisme agama menjadi sebuah refleks dilematis, ketika kekuasaannya macet dalam tataran akal, bukan modal. Struggle for existence, sebagaimana yang dikatakan Marcuse (tokoh Neo-marxist) menampakkan identitasnya melalui berbagai penggejawantahan ide-ide yang terkesan puritan, suci dan anti-sekularitas. Jikalau ditelisik lebih lanjut, kelompok-kelompok yang mengedepankan puritanisme dapat dipahami sebagai sebuah “ perjuangan kelas tertindas “ menghadapi fundamentalisme pasar yang semakin hegemon. Pertentangan fundamentalisme agama versus fundamentalisme pasar inilah yang sebenarnya tampil, bukan semata-mata hasrat beragama yang orisinil.
Kedua, saya sebenarnya sanksi apakah islam akan benar-benar dibawa ke pada hakikatnya, bukan sebagai siasat. Gerakan pemurnian islam tidak bisa secara “ telanjang ” dipahami sebagai muatan ajaran yang sakral. Hal yang lebih mendasar adalah memahami bagaimana islam dapat dianggap sebagai sebuah muatan ideologis yang bebal terhadap situasi lingkungan yang sedemikian dinamis. Kekhawatiran tersebut muncul ketika Katholik di Eropa justru dibawa dan dipahami jauh dari realitas normal kemanusiaan. Praktek-praktek agama seringkali menjauh dari kehidupan sosial, yang sebenarnya menjadi misi utama kenapa agama bisa muncul. Secara pribadi, saya tidak menginginkan islam dibawa ke zaman kegelapan sebagaimana katholik pernah alami. Sejarah telah membuktikan demikian. Dan sebagai manusia yang berpikir, tentunya kita tidak ingin mengulangi kekelaman agama Eropa ,terutama Katholik didalam sistem operasionalnya. Karl Marx pernah mengatakan “ agama adalah candu “ untuk menggambarkan praktik kehidupan beragama di Eropa masa itu. Berkaca dari peristiwa sejarah, islam harus dibawa menuju agama yang semata-mata mengajarkan kemaslahatan umat, tidak hijrah kedalam pemaknaan sempit seputar dogma agama nun teoritis. Kita pasti bersepakat tidak akan menempuh sebuah mekanisme seperti Konsili Vatikan hanya untuk memberi kesan yang berbeda dengan praksis religi kita. Tentu saja, kita ingin islam tampil agama yang manfaat, bukan mudharat bukan?
Saya kira makna rahmatan lil’alamin tidak sekedar bagi umat islam sendiri. Rahmatan lil’alamin lebih dari sekedar toleransi antar-umat beragama. Rahmatan lil’alamin adalah sebuah berkah alam secara keseluruhan. Tidak peduli jenis objek alam didalamnya. Islam harus terbuka dan bertindak eksklusif terhadap semua agama, bahkan yang sesat sekalipun. Idiom “ katak dalam tempurung “ takkan terjadi jika segenap komponen islam bersatu membentuk islam eksklusif, sehingga kehadirannya membawa keharuman bagi sekitarnya. Islam bukan benalu yang senantiasa bergantung dan menyusahkan pihak lain. Lebih dari itu, islam adalah media bergantung bagi sesama umat beragama, bahkan penganut kepercayaan tradisional sekalipun. Ketika kita telah percaya dengan kebenaran islam sendiri, niscaya sinar islam akan beresonansi dan membawa kesejukkan terhadap sekelilingnya. Menghormati tata cara berdoa dan mengucapkan selamat hari raya bukan berarti kita membenarkan ajaran mereka. Tetapi, itu hanyalah sebuah taktik agar islam hadir dalam setiap perayaan agama lain. Kita sepertinya terlalu meremehkan Tuhan ketika memperbincangkan islam hanya sebagai sebuah agama biasa. Misi rahmatan lil’alamin terlalu mulia dan suci bila hanya terwujud dalam suatu dogma. Saya kira islam diturunkan tidak sekadar sebagai agama. Melihat misi dan kontribusi islam yang sedemikian luar biasa ditambah dengan rahmat bagi seluruh alam, saya kira islam adalah sebuah kehangatan hakiki yang tiada bandingan dimuka bumi. Bukankah kita menginginkah islam dikenal karena keluhurannya, bukan karena kontroversinya? ***
Andi Triswoyo, Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional UGM (Ketua PMII Rayon Soshum UGM)
Posting Komentar