Bila engkau menganggap Allah ada hanya karena engkau yang merumuskannya, maka pada hakikatnya engkau telah menjadi kafir. Allah tidak perlu disesali kalau Dia menyulitkan kita. Juga tidak perlu dibela kalau orang menyerang hakikat-Nya”.
(Al-Hujwiri)

Beberapa minggu yang lalu, kehidupan masyarakat Indonesia ‘terguncang’ oleh munculnya insiden Gereja HKBP di Bekasi. Tidak lama kemudian, kita menyaksikan lewat media massa, aksi para perampok bersenjata yang diduga merupakan teroris yang ingin menegakkan khilafah Islamiyyah di Indonesia. Dalam sebuah wawancara televisi, salah satu tersangka yang ditangkap mengaku bahwa harta yang mereka rampok adalah fa’i, karena diambil dari ‘musuh-musuh Islam’, sehingga sah hukumnya melakukan hal tersebut.
Dan beberapa hari yang lalu, perdamaian yang telah lama tercipta di Tarakan terusik. Dua kelompok etnik, yaitu Tidung dan Bugis, terlibat konflik yang menewaskan tidak kurang dari 5 orang. Walaupun akhirnya tercapai kesepakatan damai, namun potensi konflik ini masih dapat muncul sewaktu-waktu.
Kita pun menjadi bertanya-tanya, mengapa kekerasan dan konflik tersebut bisa terjadi? Bukankah bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah dan toleran?

Agama dan Kesadaran Beragama
Kalau kita telusuri secara lebih mendalam, perilaku terorisme sebenarnya berasal dari kesadaran kognitif para pelakunya yang memahami bahwa Indonesia bukanlah negara Islam (dar al-Islam) karena belum menerapkan syariat Islam secara kaffah, yaitu dengan formalisasi sistem khilafah. Oleh karenanya, bagi mereka, Indonesia adalah medan untuk berperang mewujudkan khilafah (dar al-harb), dan harta yang dirampas darinya disebut dengan fai. Bagi mereka, aparat keamanan negara kita yang menghalangi “jihad” mereka adalah musuh, dan oleh karenanya harus dibunuh. Adapun sasaran mereka adalah sang presiden, karena dialah yang mereka anggap telah menjerumuskan bangsa yang mayoritas muslim ini ke dalam sistem ‘kafir’.
Aksi terorisme, kemudian juga konflik yang mengakibatkan insiden seperti gereja HKBP, sebenarnya tidak terlepas dari kesadaran beragama yang masih fanatik dan eksklusif. Kenapa demikian? Karena kita seharusnya membedakan 2 hal, yaitu antara kesadaran agama dan kesadaran beragama. Yang pertama berkaitan dengan pemahaman doktrinal terhadap ajaran agama, sedangkan yang kedua berkaitan dengan praktik penerapan perilaku beragama dalam lingkup sosial. Terlepas dari dugaan adanya pihak ketiga yang ‘bermain di air keruh’, insiden gereja HKBP menunjukkan bahwa masyarakat kita masih terjebak pada kesadaran agama yang sangat kuat, namun miskin kesadaran beragama.
Begitu juga halnya dengan konflik antara kelompok suku Tidung dan Bugis di Tarakan bisa dilihat dari sudut pandang demikian. Namun yang lebih penting, sebenarnya konflik ini bukanlah konflik etnis, karena kalau kita telusuri secara lebih mendalam, ia hanyalah efek dari kondisi sosio-ekonomi masyarakat Tarakan yang masih belum stabil. Problem perebutan ‘ruang sosial’ dan sumber-sumber ekonomilah sebenarnya yang menyebabkan mereka mudah tersulut ‘api’.

Agama dan Demokratisasi
Dari ketiga kasus tersebut, menurut penulis, ada satu benang merah yang dapat diambil, yaitu mengenai peranan agama di dalam masyarakat.
Kita tentunya sepakat bahwa semua agama dihadirkan ke muka bumi ini adalah untuk menyebarkan perdamaian dan moralitas luhur kemanusiaan. Manusia, menurut Islam, adalah khalifah yang diberi mandat oleh Allah untuk mengelola alam ini. Sehingga dari sinilah kita bisa melihat tiga dimensi hubungan yang kita jalin, yaitu manusia dengan Tuhan (transendental), manusia dengan sesama manusia lainnya (sosial), dan manusia dengan makhluk lain serta alam yang dia tempati (lingkungan).
Untuk dimensi pertama dapat kita maknai sebagai kesalehan individual, karena hanya berkisar hubungan si hamba dengan Tuhannya. Sedangkan dimensi kedua dan ketiga bisa kita maknai sebagai kesalehan sosial, karena berkaitan dengan relasi kita dengan orang lain, makhluk lain serta lingkungan.
Dalam kenyataannya, masih banyak di antara kaum beragama kita yang masih terlalu menekankan pada kesalehan individual. Mereka lebih menekankan pada aspek ritual seperti shalat, pergi ke gereja, dan sebagainya, daripada memikirkan aspek sosial dan lingkungan seperti persoalan kemiskinan, pengangguran, ketidakadilan, perusakan lingkungan, dan sebagainya. Mereka jarang mau melihat dan mendengar secara langsung dengan hati nurani mereka tentang kondisi masyarakatnya dan kondisi lingkungannya, sehingga bagi mereka yang terpenting adalah ibadah ritual untuk mencapai surga-Nya.
Padahal dalam semua agama, termasuk Islam, kita dapat mencermati bahwa ajaran-ajarannya sangatlah menekankan peranan manusia dalam menciptakan kesejahteraan, kedamaian, dan keserasian kehidupannya. Dan untuk mewujudkan hal demikian tentunya manusia tersebut haruslah benar-benar memahami manusia lainnya, saling mengenal, dan bekerjasama untuk memelihara kehidupan dan lingkungannya.
Dalam konteks Indonesia, kita harus sadar bahwa masih banyak tantangan yang harus kita hadapi untuk mewujudkan demokratisasi sepenuhnya. Rakyat kita masih banyak yang hidup dalam kemiskinan, pengangguran masih tinggi, ancaman disintegrasi bangsa, persoalan perusakan lingkungan hidup, agenda pemberantasan korupsi, dan permasalahan-permasalahan lainnya seharusnya menjadi ‘lahan’ perjuangan (jihad) para agamawan dan kaum beragama kita, sehingga perhatian kita tidak hanya berkisar soal khilafah, perebutan pemeluk agama, pembakaran al-Quran, atau yang semacamnya. Demokratisasi menjadi suatu keniscayaan yang harus diperjuangkan, dan para agamawan serta kaum beragama harus memikirkan kembali perannya di dalam agenda demokratisasi ini.

Membaca Realitas, Memposisikan PMII
PMII sebagai bagian dari masyarakat sipil Indonesia, adalah organisasi kader berbasis agama yang bercita-cita memunculkan kader-kader ulul albab, yang memiliki kesadaran transendental serta kesadaran sosial (sense of social crisis), serta mewujudkan transformasi sosial-demokratik di Indonesia. Oleh karena itu, PMII dituntut untuk melaksanakan pengkaderan secara intensif dan sistematis sesuai dengan nilai-nilai Aswaja dengan paradigma kritis-transformatif, sehingga lahir sosok-sosok intelektual yang concern terhadap realitas sosial serta turut aktif dalam mewujudkan transformasi demokratik di Indonesia. Kita memiliki banyak sarjana dan akademisi, namun jarang di antara mereka yang adalah juga intelektual, khususnya intelektual organik.
Selain itu, PMII juga dituntut untuk terlibat dalam aksi-aksi sosial dalam rangka transformasi sosial, seperti pendidikan kesadaran kritis di masyarakat, kritisisme terhadap kebijakan lokal dan nasional, serta advokasi masyarakat. Yang harus disadari, ini semua haruslah dimaknai sebagai manifestasi kesadaran beragama sebagai hasil dari pemahaman dan pemaknaan terhadap ajaran agama Islam yang rahmatan li al-‘alamin.
Adapun PMII Komisariat Gadjah Mada dituntut mampu memposisikan dirinya di dalam konstelasi sosial dalam lingkup UGM –sebagai basis material pergerakannya- yang notabene adalah kampus kerakyatan. Setidaknya ada 2 tantangan yang harus dihadapi, yaitu fundamentalisme agama dan liberalisasi pendidikan. Yang pertama berkaitan dengan agenda kelompok-kelompok fundamentalis yang berkeinginan menjadikan mahasiswa UGM sebagai kader-kader mereka untuk kepentingan sempit dan politis mereka –dan hal tersebut mengancam pluralitas masyarakat kita, sedangkan yang kedua berkaitan dengan kebijakan struktural negara yang ‘disetir’ oleh kepentingan kapitalisme neoliberal yang ingin menjadikan sektor pendidikan sebagai bisnis jasa pendidikan, bukan sebagai pelayanan publik yang menjadi hak asasi warganegara.
Sebuah harapan besar, lahir dari ‘rahim’ PMII, khususnya PMII Komisariat Gadjah Mada, sosok seperti Gus Dur, Romo Mangun, Mahatma Gandhi, Bunda Theresa, dan Vandana Shiva, yang memiliki keprihatinan sosial dan memanifestasikannya dalam langkah-langkah nyata –dan semua itu tidak terlepas dari penghayatan bahwa agama dapat dan harus berperan sebagai spirit transformasi sosial.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Oleh: Mochammad Said

Posting Komentar

 
Top