Senin, 16 Maret 2009, sejumlah mahasiswa tampak menggelar aksi menolak Pemilu dengan menggelar posko di sudut Fakultas Filsafat UGM. Kamis, 19 Maret 2009, sejumlah pemilih yang mengatasnamakan diri “Forum Pemilih Cerdas” mengadakan aksi damai menyerukan masyarakat menggunakan hak pilihnya. Simulasi Pemilu di beberapa tempat diwarnai dengan banyaknya suara tidak sah. Apa yang salah dengan Pemilu 2009?
Beberapa pekan terakhir cuaca di Indonesia terasa semakin memanas. Bukan karena hujan yang sudah semakin jarang mengguyur, tetapi karena tanggal pesta demokrasi yang semakin dekat. Sembilan April akan menjadi detik-detik penentu siapa yang akan ternobatkan menjadi pemenang dalam kontestasi pemilu legislatif. Bahkan dari jauh hari sebelumnya, sejumlah partai politik telah menggempur masyarakat dengan iklan-iklan politik di berbagai media. Tujuannya jelas, yaitu untuk menarik hati konstituen dan memenangkan Pemilu 2009.
Berbagai pakar dari bermacam disiplin ilmu juga turut meramaikan dengan analisis kritisnya. Media mengawal dengan menyajikan informasi terkini seputar Pemilu 2009 setiap harinya. Stasiun televisi berlomba menjadi referensi Pemilu nomor satu. Media cetak membuka forum-forum opini khusus bertemakan Pemilu. Menarik memperhatikan semangat yang semakin besar dibanding Pemilu sebelumnya.
Lantas, apa persepsi mahasiswa tentang agenda besar lima tahunan tersebut? Sebagai golongan elit, mahasiswa diharapkan mampu melihat segala sesuatu dengan kaca mata kritis. Tidak terbawa arus dan kepentingan politik praktis serta memiliki idealisme yang kuat.
Berdasarkan obrolan sejumlah mahasiswa -tentunya obrolan yang berbeda dengan para pedagang di pasar, jika sama tentu mahasiswa tidak perlu lagi ke kampus melainkan ke pasar saja-(Lho…kok jadi mendiskreditkan orang pasaran…….?????? ada yang kurang sependapat nee..!!!!), salah satu hal yang tertangkap dari proses pra-Pemilu 2009 adalah demokrasi yang masih berjarak dengan rakyat.
Sejak masih duduk di bangku SMP, kita telah diajarkan definisi demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Kini ketika telah duduk di bangku pendidikan tinggi, yang hanya sebagian kecil masyarakat mampu mencecapnya, kita menyadari bahwa definisi tersebut tidak berlaku di Indonesia. Bahwa demokrasi ternyata tidak benar-benar dari, oleh, dan untuk rakyat.
Sebuah kenyataan yang menyedihkan. Sebuah simulasi Pemilu yang dilakukan di kota besar menunjukkan tingginya angka “kebutaan” masyarakat terhadap Pemilu 2009. Seandainya Pemilu dilaksanakan pada saat itu, Indonesia akan menjadi Negara dengan jumlah suara tidak sah tertinggi di dunia. Akankah kita bangga dengan rekor tersebut?
Setidaknya terdapat dua faktor yang menentukan suksesnya Pemilu 2009, baik secara kuantitas maupun kualitas; pertama, sosialisasi Pemilu; kedua, pendidikan politik bagi konstituen.
Faktor pertama, sosialisasi Pemilu menjadi tanggung jawab KPU (Komisi Pemilihan Umum). Meski demikian, pada kenyataannya sosialisasi Pemilu 2009 yang dilakukan oleh KPU sejauh ini masih dirasa kurang efektif. Bentuk sosialisasi yang dilakukan lewat media cetak dan elektronik masih belum menyentuh konstituen secara langsung. Simulasi dan sosialisasi langsung yang merupakan strategi efektif justru belum dilakukan secara menyeluruh.
Permasalahan utamanya adalah pada perubahan tata cara pemilihan dari coblos menjadi contreng. Baru sebagian kecil konstituen yang benar-benar mengetahuinya. Pemilihan legislatif secara langsung juga menjadi permasalahan. Secara psikologis, pemilih akan kebingungan ketika harus memilih masing-masing satu nama pada empat kertas suara yang besar. Bagaimana dengan pemilih yang telah mengalami penurunan kualitas penglihatan?
Berbagai permasalahan dalam Pemilu di atas hanya dapat diatasi melalui sosialisasi efektif. Dan KPU yang mengemban tanggung jawab terbesar belum berhasil melaksanakannya. Sosialisasi terasa lambat. Hal ini terutama dikarenakan KPU tidak mengoptimalkan peluang untuk bekerja sama dengan lembaga lain dalam mensosialisasikan Pemilu.
Di samping KPU, pada dasarnya partai politik melalui para calon legislatornya turut membantu sosialisasi Pemilu secara tidak langsung. Melalui atribut kampanye seperti banner, spanduk, baliho dan pamflet di sepanjang jalan. Hampir semua calon mencantumkan nomor urutnya di partai dan menampilkan bagaimana cara memilih mereka dengan benar.
Faktor kedua yaitu pendidikan politik bagi konstituen. Pemilu 2009 dapat dikatakan sebagai Pemilu dengan kampanye terpanjang dalam sejarah Pemilu di Indonesia. Sebagai contoh, iklan Ketua PAN, Sutrisno Bachir yang muncul sejak pertengahan tahun 2008 dan iklan kritikan terhadap SBY yang dikeluarkan oleh Wiranto.
Ramainya dunia perpolitikan saat ini boleh jadi menggembirakan. Sayangnya, pendidikan politik yang diberikan oleh partai politik masih terlampau dangkal. Politik saling menjatuhkan yang tidak pantas dilakukan, justru dijadikan maneuver utama. Debat partai yang difasilitasi media elektronik sebagian besar menampakkan ketidakdewasaan politik kader partai. Spanduk caleg hanya menjadi sampah dan pengganggu keindahan lingkungan.
Apakah pola pikir praktis dan pragmatis tengah membelenggu politisi Indonesia? Sampai-sampai mereka melupakan esensi dari Pemilu itu sendiri; memilih pemerintahan terbaik bagi rakyat.
Tentunya tidak bijak jika hanya mengkritik pihak lain. Kita, mahasiswa, memiliki tanggung jawab ganda; mengemban fungsi kontrol sekaligus sebagai agen perubahan, perubahan dari yang buruk menjadi baik, atau dari baik menjadi lebih baik; mengontrol jalannya kebijakan pemerintah, dan ketika melihat ketimpangan, melakukan usaha untuk mengubahnya.
Mari kita kawal Pemilu legislatif dan Presiden bersama-sama. Masih ada waktu untuk berbenah. Memperbaiki dua faktor kunci, sosialisasi Pemilu dan pendidikan politik bagi konstituen. Agar pada akhirnya demokrasi tak lagi berjarak dengan rakyat.
Oleh: Salma (Psikologi 2007)
Posting Komentar