Oleh: Inayatul Ulya (Psikologi ’08)
Gerakan mahasiswa di Indonesia adalah kegiatan kemahasiswaan yang ada di dalam maupun di luar perguruan tinggi yang dilakukan untuk meningkatkan kecakapan, intelektualitas dan kemampuan kepemimpinan para aktivis yang terlibat di dalamnya. Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, gerakan mahasiswa seringkali menjadi cikal bakal perjuangan nasional, seperti yang tampak dalam lembaran sejarah bangsa. Dalam sumpah pemuda tahun 1928 untuk pertama kali dengan gamblang mengemukakan bahwa angkatan muda sebagai komponen masyarakat mengambil bagian di dalam kehidupan politik Indonesia. Sumpah tersebut merupakan salah satu usaha untuk memperoleh kemerdekaan.
Setelah kemerdekaan berhasil dicapai, semangat kegiatan para angkatan muda ini di dalam politik Indonesia tidaklah kendor begitu saja. Hanya saja persoalan yang menjadi tema aktivitas mereka mengalami perubahan. Dengan kata lain, teknik perjuangan yang menjadi dasar peregrakan kegiatan aktivitas bisa berbeda dari waktu ke waktu sesuai dengan tujuannya.
Selama di universitas, mahasiswa banyak mengamati masyarakat melalui mata kuliah, penelitian dan praktek di dalam masyarakat. Begitu pula mahasiswa memliki pengetahuan yang cukup mengenai kenegaraan, pemerintahan, serta seluk beluk pengaturannya. Dengan demikian mahasiswa memiliki kemampuan untuk mengukur apa yang dialami oleh masyarakat, dengan apa yang diharapkannya dari pemerintah. Apabila nilai-nilai dasar yang layak dikembangkan di dalam masyarakat seperti kebebasan mengeluarkan pendapat, berkumpul, dan kehidupan yang tidak jauh sekali bedanya dengan lapisan atas masyarakat sudah tertekan dan menyentuh rasa ideasme masyarakat, maka keseluruhan mahasiswa merasa terajak untuk melakukan aktivitas poitik. Hal ini seperti yang pernah terjadi pada penghujung kekuasan Presiden soekarno di dalam sistem politik Demokrasi terpimpin, dimana secara utuh mahasiswa bergerak di bawah naungan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang dibentuk tanggal 25 Oktober 1965, dengan mengemukakan Tri tuntutan Rkyat (TRITURA), dan Tuntutan hati Nurani Rakyat (TUNHANURA).
Saat ini, tidak lagi sekedar terlibat dalam kehidupan politik Indonesaia, pergerakan mahasiswa mulai mengikuti kegiatan politik yang mulai hidup di dalam kampus-kampus intelektual. Di UGM sendiri, kegiatan politik kampus hidup dengan keberadaan PEMIRA. PEMIRA merupakan adaptasi dari PEMILU yang merupakan proses suksesi nasional. PEMIRA UGM mulai digunakan sebagai metode suksesi kepemimpinan lembaga di UGM pada awal 90-an,namun PEMIRA UGM sendiri baru menggunakan sistem multipartai sejak tahun 1998. Saat itu, negeri ini masih dipimpin oleh rezim orde baru yang menggunakan demokrasi sebagai sarana untuk melaksanakan misi-misi mereka,sehingga adanya sistem multipartai seakan tidak berarti. Di saat itulah UGM sebagai salah satu universitas besar di Indonesia memelopori lahirnya partai mahasiswa,dan dapat mengaplikasikan demokrasi secara utuh dalam proses bernama PEMIRA. Pesta demokrasi di kampus memang sangat menarik, warna-warni seputarnya, isu-isu dan konflik-konflik didalamnya selalu menjadi cerita menarik yang tak habis diperbincangkan.
Dalam proses pelaksanaanya, PEMIRA juga menggunakan perangkat-perangkat penunjang seperti Komisi Pemilihan Raya Mahasiswa (KPRM), KPRM Fakultas, Tim Pelaksana Pemungutan Suara (TPPS), Badan Pengawas Pemira (Bawasra), Komisi Pengawas Pemira (KPP) Fakultas dan ada juga Mahkamah Pemira yang merupakan tempat penyelesaian sengketa. Sehingga dalam prosesnya, PEMIRA sudah menggunakan sistem demokrasi modern yang terstruktur. Panitia PEMIRA juga mengadakan berbagai kegiatan sosialisasi kepada para pemilih seperti pendidikan PEMIRA yang di dalamnya terdapat simulasi pemilihan dan rangkaian diskusi. Hal ini bertujuan agar teknis dan undang-undang, perangkat serta hal-hal lain yang berhubungan dengan PEMIRA dapat tersosialisasikan dengan baik kepada pemilih. Dalam pemilihannya PEMIRA akan melibatkan semua mahasiwa UGM untuk memilih calon-calon presiden mahasiswa dalam pemilihan umum di tempat-tempat pemungutan suara yang tersedia di berbagai fakultas di UGM.
Pemira di UGM dapat disebut sebagai miniatur dari Pemilu di Indonesia. Pemira ini ada untuk memilih presiden BEM KM, anggota DPM (Dewan Perwakilan Mahasiswa) yang direpresentasikan oleh partai kampus, dimana dalam pemilu nasional merujuk kepada pemilihan anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), serta anggota DPF (Dewan Perwakilan Fakultas), yang juga merujuk pada DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Kampus kita mengenal sistem partai, dimana saat ini terdapat sembilan partai yang berpartisipasi dalam Pemira 2010, yaitu Partai Srikandi, Kampus Biru, Macan Kampus, Balairung, Future Leaders Party, Partai Keluarga Mahasiswa, Bunderan, Sayang Mama, dan Boulevard. Sementara untuk presiden terdapat enam calon, empat berasal dari partai, dan dua calon maju sebagai calon independen. Dan Pemira 2010 ini dimenangkan oleh Luthfi Hamzah, capresma dari jalur independen, mahasiswa Jurusan Politik dan Pemerintahan angkatan 2008.
Kampus bisa dikatakan merupakan sebuah sarang politisi. Hal ini didasari beberapa fakta di lapangan bahwa banyak politisi yang lahir dari kampus. Praktik politik dalam arena perpolitikan di negeri ini mengindikasikan bahwa kampus merupakan tempat pembibitan yang subur untuk memunculkan para politisi ulung. Tetapi, yang menjadi pertanyaan adalah apakah praktik politik yang dilakukan di kampus benar-benar mencerminkan integritas kaum intelektual? Mayoritas permainan politik yang dimainkan dalam perebutan kekuasan di tataran pemilihan umum mengindikasikan praktik yang tidak sehat. Dan, untuk meraihnya, banyak mahasiswa yang berambisi untuk duduk di kursi parlemen dengan menggunakan cara-cara yang tidak sehat. Yang lebih ironis, jika para wakil mahasiswa ini berasumsi bahwa politik di kampus hanya sebagai jembatan politik. Jika mindset ini telah menggerogoti pikiran para wakil mahasiswa, baik yang duduk di dewan mahasiswa (DPM) maupun di badan eksekutif mahasiswa (BEM), maka visi dan misi mereka perlu untuk dipertanyakan kembali. Untuk itu, jika ingin perpolitikan di Tanah Air ini bersih, terlebih dulu harus mengondisikan praktik politik di kampus yang bersih dari segala macam aspek kecurangan politik.
Sesungguhnya, berpolitik adalah hal yang sangat manusiawi. Karenanya, dalam politik ada ”aturan main” dan etika yang harus didindahkan tanpa bertolak belakang dengan tujuan yang diharapkan. Dalam perspektif Mahatma Ghandi, seorang tokoh revolusioner dari India, setiap tujuan yang ingin dicapai harus selaras dan seimbang dengan metode dan tata cara yang dilakukan. Mustahil hasil dari tujuan dinilai baik jika metode yang digunakan adalah dengan jalan yang buruk. Begitulah kiranya yang dimaksud dengan politik yang ”bersih”, sebagaimana yang pernah dikatakan Plato bahwa politik adalah seni mempegaruhi orang lain dengan kecerdikan dan kecerdasan, bukan dengan keculasan dan kebohongan serta cara-cara keji yang menghalalkan segala macam aturan demi meraih keinginan.
Dalam pergerakan mahasiswa, politik kampus ini dapat dijadikan sebagai sarana distribusi efektif bagi para kader untuk dapat lebih mengaktualisasikan diri serta identitas lembaganya ke dalam lingkungan kampus secara lebih luas. Penempatan posisi pada level-level strategis bagi kader merupakan salah satu sarana pembuktian dan implementasi kemampuan kader dalam rangka tranformasi ilmu pengetahuannya. Apabila hal ini berjalan dinamis maka lembaga pergerakan mahasiswa yang bersangkutan jelas akan menuai keuntungan besar karena kader tersebut selain dimatangkan oleh institusi juga dibesarkan oleh lingkungan yang nantinya akan memberi nilai positif bagi out-put kader. Selain itu kader juga menjadi memiliki kemampuan managerial organisasi yang baik berdasarkan pengalaman yang dimilikinya. Politik kampus juga memberikan kemanfaatan bagi suatu pergerakan mahasiswa, karena dengan adanya medan tersebut maka pergerakan mahasiswa menjadi mempunyai akses dan peran yang jelas dalam setiap gerakannya. Dengan demikian pengkaderan pergerakan mahasiswa yang bertujuan menciptakan kader tangguh dapat dicapai dengan lebih baik.
Posting Komentar