“Sesungguhnya yang paling mulia di kalangan kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa di antara kamu.” (Al-Hujurat:13).
Sebagai negara hukum, keadilan adalah hal yang mutlak. Termasuk dalam hal kesetaraan gender. Tidak sedikit undang-undang berprespektif gender, namun ketika turun ke bawah malah keropos. Hal tersebut mengemuka saat diskusi pra-PKD (Pelatihan Kader Dasar) PMII UGM di Sekretariat Komsat PMII UGM, Ahad (24/2). Banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan dapat menjadi bukti yang nyata bahwa posisi mereka yang sudah diistimewakan Allah justru malah kontradiktif dengan realitas yang terjadi di lapangan. Di sisi lain, pemahaman masyrakat akan isu gender masih minim. Bahkan tidak sedikit yang salah dalam menafsirkan “gender”. Alhasil, isu gender menjadi perdebatan yang tak kunjung berakhir oleh kalangan “agamawan”, khususnya kaum muslim itu sendiri .
“Gender adalah pembagian tugas perempuan dan laki-laki di lingkungan publik dan domestik akibat konstruksi sosial budaya” kata Any Sundary, aktifis LSM Rifka Annissa yang didaulat menjadi pemantik diskusi sebagai sarana kaderisasi ini.
Jika menyangkut hal yang bersentuhan dengan fisik, maka hal tersebut sudah jadi kewenangan Tuhan, Allah subhanahu wa ta’ala. Perbedaan fisik adalah hal yang mutlak, termasuk dalam hal ini antara laki-laki dan perempuan. Meski demikian, kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama, sebaaimana yang terangkum dalam QS Al Hujarat ayat 13 di atas. Dengan demikian ketimpangan-ketimpangan antara laki-laki dan perempuan dalam hal kehidupan duniawi seharunya tak terjadi.
Lebih lanjut, mahasiswi jurusan Sosiologi UGM ini mengatakan terjadinya ketimpangan disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: ketimpangan informasi, relasi yang tak sinkronis, terbatasnya akses, dan dominasi atau hegemonitas.
Faktor-faktor tersebut, mau tidak mau, harus menerima kenyataan pahit dalam ranah publik dan domestik. Memang, seorang perempuan akan memainkan peranannya sebagai seorang ibu. Dan hal ini adalah hal yang mutlak terjadi. Namun, ketika dunia mengharuskan setiap manusia untuk “bertarung” melawan hidup, bahkan hanya demi sesuap nasi, membuat siapa saja yang menginginkan hidup harus bergerak, tek terkecuali bagi perempuan. Keterlibatan perempuan ternyata belum diimbangi dengan aturan-aturan yang berprespektif gender.
Timpangnya aturan-aturan berprespektif gender dapat ditemukan dengan adanya jam kerja yang sama antara laik-laki dan perempuan. Bahkan, seorang perempuan yang sedang hamil dan menyusui sangat kecil untuk memiliki kesempatan cuti dari rutinitasnya. Maka muncullah opini sesat, “perempuan itu sebaiknya di dapur”.
Memang, bukan persoalan mudah untuk melibatkan perempuan dalam ruang publik. Hal ini disadari karena perempuan telah secara kodrati memiliki fisik yang berbeda jauh dengan laki-laki. Akan tetapi, dengan menimbang bahwa perempuan dan laki-laki sejatinya adalah sama –dari aspek non fisik, maka yang diperlukan adalah modifikasi dan adaptasi. Yang mana dengan memandang aspek yang ada, rekonstruksi pola dan sistem yang selama ini terkesan maskulinitas diharapkan lebih memperhatikan aspek feminitas. Namun dengan tanpa menghilangkan fungsinya masing-masing, terutama laki-laki sebagai fatherhood. Sebab, konstruksi yang ada tidak semuanya negatif. Yang positif inilah yang perlu kita jaga dan pertahankan. Sedangkan yang negatif, seperti dominasi dan hegemonitas harus dihilangkan. Dengan tidak adanya dominasi dan hegemonitas, maka segala bentuk ketimpangan dapat diminiamlisir karena masing-masing memiliki kedudukan yang proporsional. Di sisi lain, tendensi mencampuradukan antara aspek dunia dan agama (Islam) dalam memandang gender haruslah medapat perhatian lebih karena keduanya memiliki positioning yang berbeda.**
Mukhanif Yasin Yusuf (Sastra Indonesia 2011)
Posting Komentar