Resensi Buku CCF dan Jejaknya dalam Politik Kebudayaan Nasional Indonesia
Review Buku :
Judul Buku : The Politics of Apolitical Culture : The Congress for Cultural Freedom, The CIA and Post-war American Hegemony
Nama Penulis : Giles Scott-Smith
Penerbit : Routledge
Tahun terbit : 2002
Tebal hal : xiii dan 222
Pasca perang dunia kedua, konstelasi politik internasional yang didominasi oleh dua negara superpower, Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet mengalami titik krusial dalam menentukan masa depan dunia. Ditengah dunia yang bipolar, setiap negara di dunia dipaksa untuk ikut dalam blok tertentu, baik Barat dan Timur. Bahkan, kehebatan perang dingin yang menjadi tema sentral dua competitor global menjadi penanda beberapa hal, baik secara fisik maupun non-fisik. Secara fisik, perang dingin telah menimbulkan bekas yang fenomenal, seperti pemisahan batas suatu negara yang mana menjadi kepentingan strategis dua kutub kekuatan dunia. Jerman, Vietnam dan Korea menjadi beberapa sampel dimana kekuatan dua kutub tersebut telah menjangkiti seantero dunia, tanpa memandang negara maju dan negara berkembang. Di jerman, tembok berlin menjadi saksi bisu dua kutub kekuatan yang tak mampu ditengahi. Tak ketinggalan, Vietnam dan Korea yang kemudian membagi kedua wilayah tersebut, sebagai arena ‘perang saudara’ – bahkan, hingga saat ini.
Hal yang menjadi menarik adalah perang dingin tidak saja menjadi pertarungan secara fisik, seperti jumlah persenjataan dan rebutan sumber daya. Akan tetapi, arena ideologi menjadi tema sentral bagi perseteruan dua kubu tersebut. Era perang dingin telah membagi dunia menjadi dikotomi Barat dan Timur, yang kemudian diperjelas dengan batas ideologi, komunisme dan liberalisme. Komunisme dengan pengawalnya, Uni Soviet berusaha memperluas pengaruhnya seantero dunia, yang dimulai dengan penaklukkan negara Eropa Timur hingga merambah wilayah Eurasia. Adapun Amerika Serikat berusaha untuk melakukan ekspansi wilayah dengan strategi pembendungannya (containment). Kebijakan luar negeri AS kemudian, mulai merambah terhadap bidang kebudayaan, yang dinilai menjadi lokus urgen terjaganya kepentingan mereka.
Congress for Cultural Freedom (CCF) menjadi sebuah lembaga yang membawahi kepentingan nasional AS. Melalui berbagai strategi yang tergabung dalam doktrin Truman, yang dikenal dengan Marshall Plan, diinisiasi oleh pemimpin AS saat itu, dan dioperasikan melalui bantuan Central Intellegence Agency (CIA).
Dalam bab I, Intelectual and Hegemony, Smith menggunakan terminologi intelektual dan hegemoni sebagai sebuah frase yang berguna dalam memahami CCF kedepannya. Penggunaan terma hegemoni Gramsci menjadi sebuah pilihan yang tepat guna merespon implikasi CCF sebagai sebuah badan indoktrinasi kebudayaan liberal dalam tataran global. Secara tersirat, Gramsci juga mengemukakan bahwasanya peran intelektual adalah melakukan konstruksi dan pemeliharaan suatu hegemoni (hal 13). Smith mengidentifikasi beberapa hal yang berkaitan dengan peran intelektual yang seharusnya dikedepankan, antara lain (1) Intelektual memiliki tugas khusus dalam menginterpretasi dunia untuk masyarakat; (2) Intelektual juga memiliki kewajiban untuk beroposisi terhadap opini dan tindakan politis yang tidak adil, yang biasanya direpresentasikan oleh negara; (3) Intelektual harus menjadi sebuah kritikus sosial; (4) Intelektual harus berada dalam ranah otonominya, sekaligus mampu terlibat dalam aktivitas politik diluarnya; (5) Intelektual harus membangun sebuah tradisi intelektualitas yang berorientasi self-conscious acceptance; dan (6) terdapat sebuah esprit de corps diantara para intelektual yang didasarkan pada pemahaman bersama terkait bahasa intelektual. Secara singkat, intelektual harus melakukan hegemonisasi nilai terhadap masyarakat melalui sebuah perjuangan ideologi (hal 25).
Dalam bab II, The Political Economy of US Hegemony 1945-50 menjelaskan sebuah urgensi mendirikan CCF sebagai domain politik yang berkaitan dengan keberlangsungan hegemoni AS melalui propaganda anti-komunisme, yang termaktub dalam rumusan kebijakan luar negeri AS. Dalam sebuah pidato kenegaraan pada Januari 1948, Truman mengingatkan kepada publik AS bahwasanya kemerdekaan bangsa-bangsa di dunia pasca-Perang Dunia 2 menambah kegelisahan terhadap AS. Bercermin dari kegelisahan tersebut, dibentuklah dua resolusi yang dimaksudkan untuk menjaga hegemoni AS di dunia, antara lain (1) Universalisme terhadap konsep kebebasan manusia; dan (2) pentingnya peningkatan kondisi perekonomian sebagai sarana untuk mencegah ‘efek jahat’ komunisme (hal 34). Berangkat dari resolusi tersebut, dibentuklah kemudian Marshall Plan yang berfungsi untuk menjaga dependensi Eropa melalui mekanisme rekonstruksi Eropa dan CCF yang berfungsi menjaga eksistensi nilai-nilai kebudayaan AS, seperti kebebasan dan anti-komunisme dalam rangka memagari pengaruh kebudayaan Uni Soviet pada era Perang Dingin.
Dalam bab III, Securing Pax Americana menjelaskan sebuah usaha diplomatik cultural AS untuk melaksanakan propaganda tatanan internasional yang berdasar nilai-nilai Amerika sejak tahun 1917. Presiden AS pada masa itu, melancarkan sebuah diplomasi budaya yang bertemakan internasionalisme liberal. Untuk mendukung pencapaian hal tersebut, dibentuklah Office of War Information (OWI) yang berfungsi sebagai coordinator presentasi konflik, baik domestik maupun luar negeri, serta kebebasan dan demokrasi. Selain itu, proyek diplomatik AS yang bersifat overt, tercermin dengan pendirian Organisasi dalam tubuh PBB, yaitu UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization). Namun, kedua organisasi dianggap gagal, sehingga pada konferensi pelantikan Kongres, memunculkan ide untuk mendirikan sebuah kongres, sebagaimana yang diungkapkan Melvin Lasky pada 1950 (hal 60).
The congress task is one of information, education, orientation, agitation. None of the existing organization – surely not the UNESCO, nor the French-Anglo-American official services in central Europe, nor the Marshall Plan publicists in the West – can properly meet this problem.
Secara singkat, tindakan menyelamatkan Pax Americana disokong oleh CIA dan CCF. Selain itu, usaha untuk melanggengkan pengaruh AS diperkuat oleh kebudayaan Atlantik AS-Eropa, disamping CCF berperan sebagai intelektul-kulturalnya (hal 82). Kombinasi intelektualistas AS-Eropa inilah yang kemudian berimplikasi terhadap masa depan kebebasan intelektual-kultural pasca-perang.
Dalam bab IV, The Formation of Congress for Cultural Freedom memaparkan pembentukan rejim global yang bertujuan menghegemoni kebudayaan global pasca Perang Dingin. Smith menjelaskan bahwasanya pembentukan CCF berkaitan dengan naiknya Cominform (Communist Information Bureau) pada akhir 1940an. Proyek Stalin tersebut dimaksudkan untuk mengkonsolidasikan kekuatan komunis terutama di Prancis dan Italia serta Eropa Timur, sembari meruntuhkan proyek Marshall Plan.
Dalam bab V, The Search for Consensus 1959-2 menguraikan mekanisme dan identitas CCF sebagai institusi hegemonik yang dirancang untuk memperkuat aliansi AS-Eropa dibawah spectrum intelektual non-komunis (hal 113). Terdapat beberapa perjanjian yang menjadi embrio CCF sebagai sebuah institusi global yang terintegrasi seperti konferensi Berlin dan konferensi abad ke-20. Dalam kurun waktu 1950-51, terdapat beberapa figure kunci yang mewarnai perdebatan tentang arah CCF kedepannya, seperti Lasky, Koestler, Brown, dan Burnham. Namun, tokoh terakhir yaitu Nicolas Nabokov menjadi figur penting dalam arah CCF kedepan dengan gagasannya untuk membumikan ide CCF sebagai sebuah institusi yang tidak mengatasnamakan kepentingan tertentu dan dibawa dalam ranah seremonial, seperti pidato publik, konferensi pers, dan pertemuan publik (hal 119). Namun, gagasan ideal ini bukan berarti bebas kepentingan. Adalah Ford, Rockefeller, Carnegie, dan konsorsium terbesarnya, CIA yang menjadi donator tetap dalam setiap aktivitas CCF, seperti donasi Rockefeller yang diberikan terhadap Science and Freedom Conference sebesar $ 10.000, dukungan terhadap Science and Freedom Committee sebesar $12.000, dan sponsor terhadap CCF’s International Competition of Musical Composition sebesar $ 10.000 (hal 123). Selain hal yang bersifat seremonial, CCF juga berpengaruh terhadap sejumlah majalah terkemuka, seperti Cuadernos (Amerika Latin), Tempo Presente (Italia), Quest (India), Quadrant (Australia), Preuves (Perancis) dan Encounter (Inggris) (hal 125).
Dalam bab VI, The End of Ideology and ‘The Future of Freedom’ menjelaskan sepak terjang CCF sebagai institusi penyemai kebudayaan liberal pasca-kematian Joseph Stalin. Disini, terlihat sebuah urgensi untuk merevitalisasi dan merestorasi pengaruh CCF kedepannya. Sebagaimana tertulis dalam bab ini, akhir ideologi yang dimaksud bukanlah akhir sejarah. Akan tetapi, indikasi sebuah perubahan penting dalam kontur terkait diskursus kiri, yang mana merefleksikan perubahan yang lebih luas dalam ranah organisasi politik, dan sosio-ekonomi (hal 140). Smith mengelaborasi bahwasanya jatuhnya pemerintahan Uni Soviet tidak semata-mata dianggap sebagai akhir perjuangan CCF. Lebih dari itu, Smith berusaha memberitahu bahwa musuh CCF tidak mati begitu saja. Intelektual komunis dan materialisme dialektika menjadi tantangan baru bagi konsolidasi CCF kedepan. Masa depan kebebasan kedepan juga menjadi tantangan karena dia akhirnya menjadi milik umum, baik intelektual komunis maupun liberal. Sehingga, hal ini memunculkan sebuah dilema identitas, dimana di sebuah situasi, seseorang dapat menganggap dirinya sosialis dan liberal secara sekaligus. Las but not least, pada era ‘akhir ideologi’, memunculkan sebuah equilibrium kepentingan diantara intelektual liberal dan sosialis daripada dominasi satu jalan (one-way domination) yang sebelumnya diprediksi khalayak pasca-jatuhnya Uni Soviet.
CCF dalam Diskursus Kebudayaan Indonesia
Menjadi menarik ketika CCF sebagai institusi hegemonik AS merambah dan membawa pengaruh yang cukup signifikan di negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia. Politik kebudayaan AS sebagai sebuah legitimasi hegemoni pada masa Perang Dingin menjadi relevan ketika memperbincangkan konteks Indonesia pada masa Orde Baru. Beberapa tulisan terkini mengenai sepak terjang CCF dalam politik kebudayaan Indonesia adalah Kekerasan Budaya Pasca 1965 : Bagaiman Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film karya Wijaya Herlambang. Wijaya ( 2013 : 58) mengatakan bahwasanya pembentukan ideologi anti-komunis di arena kebudayaan adalah merupakan hasil dari proses panjang pertarungan politik dan ideology dalam rangka mencari identitas kebudayaan nasional Indonesia.[1] Sehingga tak heran, ketika CCF juga berkontribusi terlibat dalam pertarungan identitas kebudayaan nasional Indonesia pada masa orde baru.
Keterlibatan CCF sebagai sebuah institusi intrusi kebudayaan liberal tidak dapat dilepaskan dari kampanye anti-komunisme oleh pemerintah AS. Strategi yang awalnya hanya berfokus pada Eropa dan AS sendiri, ternyata menyebar seantero dunia, hingga mencapai Afrika dan Asia, termasuk Indonesia.[2] Dengan kata lain, terjadi Perang Dingin Kebudayaan, seperti yang diistilahkan Frances Stonor untuk menggambarkan pertarungan ideologi kebudayaan pada masa perang dingin.[3] Setali tiga uang dengan pendirian CCF, kinerja CCF di Indonesia juga tidak akan berjalan ketika tidak ada lembaga atau institusi yang menjadi agen CCF. Organisasi-organisasi seperti PSI, Gemsos dan GPI menjadi sederet lembaga aktif yang tidak saja memperkenalkan ideology kebudayaan liberal, tetapi juga menjadi sarana untuk melawan ideologi kebudayaan kiri, seperti Lekra dan LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional).[4]
Manifes kebudayaan (Manikebu) menjadi tema sentral dalam perbincangan kontribusi penghancuran sastra kiri dalam ranah kebudayaan nasional. Kemiripan Manikebu dengan CCF dalam hal ideologi, tercermin dalam deklarasi kedua institusi tersebut. Jika kita cermati, kedua institusi tersebut mengangkat terminology yang mirip, seperti kebebasan berbudaya dan anti-pengutamaan kebudayaan tertentu.[5] Selain itu, sebagaimana dicatat Coleman, istilah yang diperkenalkan kedua institusi tersebut, tampak sama yaitu Humanisme Liberal dan Humanisme Universal. Kemiripan inilah yang semakin menguatkan argument bahwasanya pemerintah Orde Baru memang melegitimasi pertarungan dalam pertarungan identitas kebudayaan nasional, khususnya Manikebu.
Terakhir, wacana politik kebudayaan liberal di Indonesia juga dapat tercermin dalam diri Goenawan Muhammad. Sebagai salah seorang tokoh penting dalam Manikebu, dia berkontribusi maksimal dalam pembentukan wacana kebudayaan liberal ditengah-tengah masyarakat Indonesia. Martin Suryajaya menjadi salah satu tokoh yang berupaya ‘menelanjangi’ sepak terjang Goenawan dalam ruang diskusi kebudayaan nasional. Dalam sebuah tulisan yang ditulisnya, Martin membeberkan sejumlah surat-surat penting Ivan Kats, yang notabene adalah perwakilan CCF Asia kepada Goenawan Muhammad.[6] Tak ayal, perbincangan terkait tuduhan Martin terhadap Goenawan makin menguatkan agenda terselubung CCF dalam membentuk identitas kebudayaan nasional Indonesia. Satu hal yang pasti, semakin hegemonik suatu penguasaan berbanding lurus juga terhadap resistensi sebagai counter-hegemony-nya. Dan, kita baru saja menyaksikan satu dari seribu perlawanan yang terejawantah dalam tulisan Martin.
- Andi Triswoyo (Hubungan Internasional 2012)
[1] Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965 : Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film , Marjin Kiri, Jakarta, 2013, hal 58.
[2] Peter Coleman, The Liberal Conspiracy, The Free Press, New York, 1989, hal 199-209 dalam Wijaya Herlambang, —.
[3] Frances Stonor Saunders, Who Paid the Piper? The CIA and the Cultural Cold War, Granta Books, London, 1999, hal 11-12 dalam Wijaya Herlambang, —.
[4] Wijaya Herlambang, op.cit, hal 80
[5] ibid, hal 85
[6] Martin Suryajaya,’ Goenawan Muhammad dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965 ‘, Indoprogress 4 Desember 2013.
Posting Komentar