K.H. Hasyim As’ari adalah sosok ulama yang sudah begitu akrab di telinga umat Islam Indonesia. Hal itu karena beliau merupakan pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama. Beliau juga terkenal dengan sebutan Hadratus Syaikh (Maha Guru). Sebagaimana diketahui, dalam sejarah pendidikan Islam tradisional, khususnya di Jawa, peranan beliau sangat besar dalam pembentukan kader-kader ulama pimpinan pesantren. Banyak pesantren-pesantren besar yang terkenal, terutama yang berkembang di Jawa Timur dan Jawa Tengah, dikembangkan oleh para kiai hasil didikan kyai Hasyim ini (lih. Ensiklopedia Islam, 2003:309).
Nama lengkap K. H. Hasyim Asy’ari ialah Muhammad Hasyim Asy’ari ibn ‘Abd Al-Wahid. Beliau lahir di Gedang, sebuah desa di daerah Jombang, Jawa Timur, pada hari selasa kliwon 24 Dzu Al-Qa’idah 1287 H. bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871 (Mujb, A.  2004 : 319). Pada tahun 1926 K. H. Hasyim Asy’ari mendirikan partai Nahdatul Ulama (NU). Sejak didirikan sampai tahun 1947, posisi Rais ‘Am (ketua umum) dijabat oleh K. H. Hasyim Asy’ari. Ia pernah menjabat sebagai kepala Kantor Urusan Agama pada zaman pendudukan Jepang untuk wilayah Jawa dan Madura. Hampir seluruh waktunya diabdikan untuk kepentingan agama dan pendidikan  (lih. Ensiklopedia Islam, 1993:138-139).
Selain terkenal sebagai seorang kyai yang identik dengan ilmu agama dan juga sebagai tokoh pendidikan pesantren, K. H. Hasyim Asy’ari juga berkecimpung di dunia perpolitikan. Hal ini bisa kita lihat dari sejarah kehidupan beliau yang juga dihabiskan untuk ikut serta dalam merebut NKRI melawan hegemoni kolonial Belanda dan Jepang.
Keluarnya Resolusi Jihad, yang merupakan pengobar semangat pertempuran di Surabaya, tidak terlepas dari pandangan K. H. Hasyim Asy’ari mengenai Islam dan kenegaraan. Beliau mengikuti pandangan yang berkembang dalam pemikiran politik Ahlussunnah wal jama’ah, yakni pendapat Syekh Nawawi al-Bantani, yang menyatakan bahwa Dar al-Islam yang telah dikuasai oleh non-Muslim tetap dipandang sebagai Dar al-Islam apabila umat Islam masih tetap bermukim di dalamnya. Dan pada Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1935, NU memang pernah menyatakan bahwa Indonesia adalah Dar al-Islam, meskipun saat itu di bawah pemerintah Hindia Belanda.
Artinya, Dar al-Islam yang kemudian dikuasai oleh non-Muslim tidak berubah status menjadi Dar al-Harb apabila orang Islam yang menetap di dalamnya tidak dihalangi untuk melaksanakan syariat agamanya. Akan tetapi, jika penguasa non-Muslim tersebut menghalangi umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya, maka statusnya berubah menjadi Dar al-Harb.
Dengan begini, maka dalam pandangan K. H. Hasyim Asy’ari, mempertahankan eksistensi NKRI dari segala hal yang mengancamnya wajib dilakukan oleh umat Islam, bukan semata-mata atas nama nasionalisme, namun untuk keberlangsungan kehidupan umat Islam yang berdiam di negara tersebut. Hal ini ditegaskan dalam pidatonya yang disampaikan pada Muktamar NU ke-XVI di Purwekorto 26-29 Maret 1946. KH. Hasyim Asy’ari  menyatakan bahwa tidak akan tercapai kemuliaan Islam dan kebangkitan syariatnya di dalam negeri-negeri jajahan. Dengan kata lain, syariat Islam tidak akan bisa dilaksanakan di negeri yang terjajah.
Pada tanggal 7 September 1947 (1367 H), K. H. Hasyim Asy’ari wafat. Berdasarkan keputusan Presiden No. 29/1964, ia diakui sebagai seorang pahlawan kemerdekaan nasional, suatu bukti bahwa ia bukan saja tokoh utama agama, tetapi juga sebagai tokoh nasional.
Inilah salah satu sosok ideal yang patut kita contoh sebagai muslim calon penerus bangsa. Bolehlah kita menggebu-nggebu dalam berpolitik, akan tetapi kita harus tetap berjalan pada koridor yang sesuai dengan essensi dan tujuan dari politik itu sendiri. Berpolitik secara islami akan semakin bermakna ketimbang mengaku islam tetapi dalam prakteknya tidak sama sekali mengikuti ajaran islam. Wallohu a’lam bi ash-showaab.**
M. Syafi’ul Munir (Sastra Prancis 2011)

Posting Komentar

 
Top