Oleh: Mira Tri R.
Judul : ISLAM, SEKULARISME, DAN DEMOKRASI LIBERAL Menuju Teori Demokrasi dalam Masyarakat Muslim
Penulis: Nader Hashemi
Penerjemah: Aan Rukmana, Shofwan Al Banna Choiruzzad
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, Januari 2011
Tebal: 289 halaman
ISBN: 978-979-22-6686-3
|
Mereka yang berpikir bahwa agama dapat dipisahkan dari politik tidak memahami baik agama maupun politik. (Mahatma Gandhi)
Seiring dengan perkembangan pemikiran modernis manusia sering muncul anggapan bahwa islam tidak memiliki kompatibelitas dengan paham demokrasi liberal yang tengah berkembang pesat dan menjadi kiblat sebagian besar penghuni dunia. Pemikiran-pemikiran mengenai keselarasan antara demokrasi dan ajaran islam sering memicu perdebatan panas di antara kaum intelektual dari berbagai belahan dunia. Tidak jarang pula perdebatan tersebut menimbulkan ketegangan-ketegangan tertentu di antara mereka. Mengamati perkembangan isu tersebut, Nader Hashemi, Asisten Profesor dalam bidang Timur Tengah dan Politik Islam di Josef Korbel School of International Studies, University of Denver, memutuskan untuk menulis buku mengenai hubungan islam dengan paham demokrasi liberal dan pembuktian bahwa islam kompatibel dengan paham demokrasi itu sendiri.
Fundamentalisme Islam dan Demokrasi: Sebuah Pandangan Melawan Arus
Akhir-akhir ini muncul sebuah pemikiran dominan bahwa masyarakat muslim tidak mampu menyelaraskan diri dengan perkembangan laju modernitas yang tengah berkembang baik dari segi budaya maupun pemikiran. Masyarakat awam menganggap islam dan peradabannya tidak cocok dengan kebebasan, demokrasi, HAM, keadilan gender, dan berbagai prinsip emansipatoris lainnya. Masyarakat muslim tampak menentang semua hal yang berbau modernitas. Pandangan tersebut semakin diperkuat dengan adanya peristiwa kontroversi pelarangan hijab di Perancis, Aneksasi Kuwait, perang Teluk, Menara Kembar di New York dan Pentagon di Washington DC.
Samuel P. Huntington mengatakan bahwa di dunia islam, demokrasi tidak akan berkembang dengan baik karena kekurangan prasyarat-prasyarat esensial yang dibutuhkan untuk transisi demokrasi. Agama merupakan kebenaran universal yang bersifat dogmatis sehingga menimbulkan semacam kekakuan ideologis dan mengakibatkan penentangan-penentangan terhadap toleransi, pluralisme, dan kompromi. Agama bersifat eksklusif dengan membangun batas-batas tak terlampaui. Sementara itu demokrasi bersifat inklusif, egaliter, dan tidak membeda-bedakan.
Menilik kekalutan permasalahan pandangan yang begitu kompleks, Nader Hashemi berusaha menciptakan sebuah rumusan pandangan baru antara islam dan perkembangan demokrasi khususnya demokrasi liberal. Menurut asumsi Nader sendiri, fundamentalisme islam adalah sebuah fenomena sosial yang rumit. Diperlukan sebuah pemikiran yang panjang dan kompleks untuk menemukan hubungan rekonsiliasi yang tepat antara islam dan demokrasi itu sendiri.
Di buku ini, Nader menjelaskan bahwa kemunculan gerakan-gerakan protes keagamaan radikal pada akhir abad ini dikarenakan masyarakat mengalami proses modernisasi cepat dan pergolakan sosial yang akhirnya mengikuti runtuhnya tatanan tradisional sebagai dampak atas proses jangka panjang modernisasi politik. Yang menarik adalah kejadian itu tidak hanya terjadi di dunia islam tetapi juga terjadi di dunia Kristen dan agama lainnya. sebagai contoh adalah kasus Munster yang terjadi di Jerman pada 25 Februari 1534. Pada saat itu muncul sebuah gerakan fanatik anabaptis yang menimbulkan kontroversi keagamaan, politik, budaya, dan sejarah di Jerman. Dari hal itu dapat dilihat bahwa permasalahan tidak hanya terjadi pada masyarakat islam namun juga dialami oleh masyarakat non islam.
Masih berkaitan dengan permasalahan itu, Nader pun mulai mengupas satu persatu permasalahan yang terkait erat antara hubungan islam dan demokrasi secara lebih mendetail. Seperti yang telah diungkapkan Nader sebelumnya terjadi kesalahan diagnosis politik dan sejarah islam tentang hubungan agama, sekularisme, dan demokrasi politik serta selektif penafsiran sejarah politik Barat dengan menafikan peran politik agama dan hubungannya dengan demokrasi. Sehingga muncul sebuah pemahaman jika sekularisme antara masalah keagamaan dan politik. Padahal perlu diketahui bahwa proses modernitas bersifat universal dan proses-prosesnya mewujud melalui lintasan sejarah yang khas bagi masyarakat itu sendiri. Dari proses pewujudan itulah muncul permasalahan-permasalahan kompleks antara agama dan demokrasi yang terjadi akibat pergulatan politik negeri yang merekonsiliasi tradisi dengan modernitas secara cepat. Oleh karena itu diperlukan negosiasi politik ekstensif sebelum terjadi consensus mengenai hubungan yang tepat antara agama dan pemerintahan.
Demokrasi Liberal Sekular Dunia Muslim
Definisi sederhana demokrasi liberal yang digunakan dalam buku ini adalah otoritas politik yang berakar dari persetujuan (consent) dari yang diperintah, rakyat memerintah melalui perwakilan yang mereka pilih, dan hak-hak asasi manusia yang mendasar – sebagaimana tertulis dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa. Di awal buku ini dibahas bahwa terjadi ketidakkongruenan antara demokrasi liberal dengan sistem politik keagamaan islam. Sehingga muncullah sebuah pertanyaan bagaimana cara untuk memajukan demokrasi liberal sekular dalam masyarakat islam?
Abdou Filali Ansary, dalam artikelnya “The Challenge of Secularization” mencatat bahwa “di dunia islam, sekularisasi mendahului reformasi dan hal itu berbanding terbalik dari pengalaman orang Eropa di mana sekularisasi kurang lebih adalah konsekuensi dari reformasi itu sendiri”. Dengan pandangan seperti itu menimbulkan konsekuensi negatif bagi perkembangan politik di masyarakat muslim. Hal itu dikarenakan masuknya sekularisme ke wilayah islam disebabkan oleh faktor pertemuan antara kolonial dengan Eropa dan adanya modernisasi dan kebijakan represif Negara pascakolonial. Sehingga secara otomatis sekularisme dalam masyarakat muslim merupakan proses dari atas-ke bawah dengan pemaksaan Negara. Hal itu berbanding terbalik dengan sejarah masyarakat Eropa di mana reformasi ide keagamaan tentang pemerintah mendahului gerakan sekularisasi dan demokratisasi. Sangat disayangkan dalam artikelnya Abdou Filali Ansary tidak memperluas pandangannya mengenai pendapatnya tersebut. Oleh karena itu, Nader pun berusaha memperluas pandangan Abdou Filali Ansary tersebut dalam buku ini dengan melakukan perbandingan secara historis dan empiris. Dengan perbandingan itulah buku ini semakin memperjelas hubungan simbiosis antara agama, sekularisme, dan budaya politik serta bagaimana demokrasi liberal di masyarakat muslim dapat maju.
Buku ini sangat menarik untuk dibaca terutama bagi generasi muda sehingga mereka dapat mengetahui secara lebih mendasar bagaimanakah konsep islam dalam dunia politik dan bagaimana pandangannya terhadap proses sekularisasi dalam demokrasi serta dampak modernitas yang begitu cepat bagi perkembangan politik demokrasi masyarakat islam sendiri. Dengan menggunakan metode perbandingan politik (comparative political theory), buku ini menjadi sangat kaya akan informasi didukung dengan berbagai literatur-literatur historis dari para ahli di bidangnya. Sehingga dapat membuka wawasan pemikiran dan mengajak mengarungi dunia islam dalam perkembangan isu politiknya.
Posting Komentar